13
Surprise
“Cantik sekali!” sahut Fenny dengan tersenyum khasnya.
“Iya.” Jonathan bergumam.
“Lampu-lampu neon yang biasanya terkesan silau ternyata begitu indah jika
dilihat dari atas,” seru Fenny girang. Senyuman tulus terbentuk di wajah manisnya
itu. Senyuman yang selalu berhasil membuat Jonathan ikut tersenyum, yang selalu
mengacaukan kecepatan debaran jantung Jonathan.
“Maksudku bukan lampu neon,” kata Jonathan.
Fenny mengernyit. “Lalu?” Gadis itu memutar kepalanya menghadap
Jonathan. Raut wajahnya yang polos membuat senyuman Jonathan semakin melebar.
“Kamu,” jawab Jonathan singkat.
Fenny mendecak lidah sambil memasang tampang kesal dan memalingkan wajahnya.
Tetapi dia tetap tidak dapat menahan rasa senangnya. Bibir yang dikerucutkan
membentuk sebuah senyuman.
Ada-ada saja orang ini, pikirnya.
Keindahan pemandangan malam itu benar-benar bisa membuat seseorang
terlarut dalam warna-warni cahaya lampu neon kota. Jika dilihat dari ketinggian
itu, ternyata kota ini seperti sebuah gambar, seperti foto-foto yang sering
dilihat di internet. Mungkin ada yang menganggapnya polusi cahaya, tetapi semua
orang tetap harus mengaku, kerlap-kerlip lampu neon itu seakan-akan pantulan
dari bintang di langit.
Fenny yang hampir tenggelam dalam keindahan pemandangan malam itu
dikejutkan oleh sebuah pelukan dari belakang. Matanya melebar dan mulutnya spontan
terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Suaranya seakan terkunci. Jantungnya
mendadak seperti berhenti berdetak. Napasnya terhenti. Pipinya memanas. Apalagi
saat dia merasakan dagu Jonathan yang menyandar di bahunya.
Ini pertama kalinya Jonathan bersikap seperti itu. Otak Fenny seakan
berhenti berputar. Kosong. Seluruh tubuhnya membeku. Hanya matanya yang mulai
bergerak-gerak tanpa tujuan di luar kendali.
Sejenak kemudian, masih dalam posisi seperti itu, Jonathan menggerakkan
badannya sehingga badan Fenny ikut berputar. Fenny dapat merasakan cahaya lampu
yang menerang dan meredup saat dia mulai menghadap ke arah taman dengan
perlahan.
“Kamu yang melakukan semua ini?” tanya Fenny yang melepaskan diri dari
pelukan Jonathan dan melangkah ke tengah taman sambil mengagumi lampu-lampu
kecil warna-warni yang digantungkan pada ranting-ranting pohon.
“Bukannya kamu merasa ini kekanak-kanakan?” tanya Fenny lagi tanpa
menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Ini hadiah dariku,” kata Jonathan dengan santai sambil berjalan dan
ikut menikmati keindahan ‘bintang buatan’ itu.
Laki-laki itu menghembuskan napas sambil memandang senyuman gadis yang
sibuk mengagumi dekorasi taman itu. Perlahan dia mengeluarkan ponselnya dan
memotret gadis itu, dan senyumannya.
“Aku rasa, aku masih tetap aku yang egois itu,” gumam Jonathan. Dia
tersenyum sambil melihat hasil jepretannya. Kali ini, senyumannya itu penuh
arti dan penuh perasaan. Perasaan sakit yang teramat sangat.
Pada saat yang bersamaan, Jonathan merasakan kehadiran seseorang. Sambil
menyimpan ponsel, dia membalikkan badannya dan membalas tatapan Roni yang
menatapnya dengan tampang tidak percaya.
“Jangan membujukku. Tidak ada gunanya,” kata Jonathan saat dia melangkah
mendekati Roni, dengan suara pelan yang hanya dapat didengar Roni. “Dia suka
bintang. Bisa lama sekali dia melihat lampu-lampu itu. Biarlah dia seperti
itu.” Jonathan meneruskan kata-katanya tanpa menghentikan langkahnya, hingga
dia masuk ke dalam mobil dan menjalankan mesin.
“Ini pilihan yang terbaik,” kata Jonathan pada dirinya sendiri. Dia
menghembuskan napas dengan kuat. Ternyata
lebih mudah dari yang kukira, pikirnya.
Sudut mata Jonathan melirik kaca spion. Matanya membesar saat melihat
Fenny yang berlari-lari mengejar mobilnya. Jantungnya terasa berat. Napasnya
tiba-tiba terhenti.
Gadis itu berlari dengan sekuat tenaga, seakan berpikir dirinya dapat
menyamakan kecepatan mobil. Mulutnya bergerak-gerak meneriakkan sesuatu.
Tangannya sesekali menyeka air mata yang mengalir semakin deras.
Hati Jonathan seperti diiris pisau. Irisan yang pelan, dengan rasa sakit
yang tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata. Dia seakan dapat mendengar
teriakan Fenny yang memanggil-manggil namanya, menyuruhnya untuk berhenti.
Jonathan menutup matanya dan menghembuskan napas. Dia memalingkan
wajahnya dari spion dan menatap lurus ke depan.
Maafkan aku, gumam Jonathan dalam hati. Mungkin
suatu hari nanti aku akan menyesali semua ini, tetapi percayalah, ini yang
terbaik untukmu.
Mobil yang dibawanya semakin laju, meninggalkan Fenny yang jatuh
terduduk di tepi jalan dan tangisannya yang tersedu-sedu. Dalam mobil, setetes
air mata jatuh membasahi lengan baju Jonathan.