Aku melangkah keluar pintu kaca yang
terbuka secara otomatis, dengan bagasi dan ransel yang telah menemaniku selama
perjalanan yang melelahkan ini. Perjalanan selama dua tahun yang membuat
perasaanku sekarang bercampur aduk. Senang, bangga, tetapi juga khawatir dan
takut.
Hei, bukan setiap hari seorang
lulusan S2 jurusan arsitektur yang mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di
Korea Selatan pulang ke negara asalnya. Mendapat beasiswa seperti itu saja
sudah suatu anugerah besar yang tidak terjadi pada sembarang orang.
Tetapi, dua tahun. Itu yang menjadi
masalah. Aku tidak tahu apa yang telah berubah, dan apa yang tidak. Selama ini,
aku hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman melalui dunia maya.
Demikian juga keadaannya dengan dia. Dia yang selama ini terus menempati di
posisi istimewa dalam hatiku. Tetapi, setelah dua tahun, apakah posisiku
baginya masih sama seperti dulu?
Langkahku memelan, dan kemudian
terhenti, saat aku menyadari tidak ada yang menjemputku di bandara. Bahkan
keluargaku pun tidak datang. Aku mendecak lidah kesal. Tetapi, ada atau tidak
yang menjemputku, aku juga harus pulang ke rumah. Bisa kemana lagi?
Aku mendesah sebelum bergerak lagi.
Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan tiba-tiba menutup mataku dari
belakang dan menahan ayunan langkahku. Tangan yang lembut. Sentuhannya seakan
takut kacamataku akan retak begitu mengenai tangannya. Jangan-jangan…
Aku segera menurunkan tangan itu dan
membalikkan badan.
Dia berdiri di sana, dengan
senyumannya yang khas, yang selama ini hanya dapat kubayangkan, yang selama ini
begitu kurindukan. Dia… datang.
Terdengar sorakan dari belakang.
Sorakan kacau yang menarik perhatian orang-orang sekitar. Sama seperti mereka
yang terkejut, aku menoleh pada asal suara, dan mendapati keluarga dan
teman-teman dekatku berdiri dalam satu deretan, sambil mengangkat spanduk dan
papan-papan kecil bertuliskan namaku dan tulisan “welcome home”. Apaan ini?
“Kalian terlalu berlebihan,” kataku
sambil berjalan ke arah mereka. Tanganku menggenggam erat tangan yang baru saja
memberiku kejutan manis tadi. Genggaman yang ditunda selama dua tahun.
Genggaman yang kunantikan selama dua tahun.
“Berlebihan apanya? Ini kami lagi
jemput artis dari Korea!” sahut adikku dengan senyuman nakal.
Aku ikut tersenyum. Untuk kali ini,
aku tidak akan memberikan komentar apa-apa. Suasana seperti ini sudah terlalu
kurindukan. Yang dapat kulakukan hanya menatap mereka satu per satu dan
tersenyum, lalu kutatap lagi, dan tersenyum lagi. Inikah yang dinamakan
bahagia?
“Sudah kutepati janjiku,” katanya
tiba-tiba saat rombongan yang keributannya hampir menarik perhatian sekuriti
ini meninggalkan bandara. Tangannya masih dalam genggamanku. Langkah kami santai.
Dalam hati, aku memohon agar waktu berjalan lebih lambat lagi. Adegan seperti
ini hanya akan muncul dalam mimpi dan lamunanku selama dua tahun yang baru
kulewati.
Aku mengerutkan dahi tidak mengerti.
Melihat reaksiku, dia berjinjit untuk mencapai telingaku, dan aku secara
otomatis menunduk sedikit untuk memudahkannya. Ah, chemistry di antara kami yang begitu kurindukan tidak hilang
sedikitpun. Senangnya.
Aku hanya tertegun menatap gadis yang
tersenyum manis itu, yang kemudian dengan lincah berlari mengejar rombongan
yang sedang berjalan menuju tempat parkir. Sesekali dia membalikkan badan untuk
melambai padaku, mengisyaratkan agar aku mempercepat langkahku.
“Aku pulang,” gumamku sambil
membetulkan letak kacamata. “Maaf telah membuatmu menunggu,” lanjutku lagi
dengan pandangan yang masih terpaku padanya.
Saat aku akan melangkah, pundakku
tiba-tiba diguncang. Rasa kaget ini hampir saja membuatku meloncat di tempat.
“Sudah sampai,” kata seorang laki-laki
di sampingku.
Perlahan, aku membuka mata, lalu mengangguk
pelan sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Ternyata hanya mimpi. Pesawat
yang kutumpangi baru saja mendarat di Korea Selatan, tempat yang akan menjadi
tempat tinggalku untuk dua tahun ke depan. Mimpi yang indah. Aku hanya bisa
berharap, semoga mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Tetapi, salah satu sudut
pikiranku sangat meragukan hal ini. Menunggu selama dua tahun. Siapa yang rela?
Aku membetulkan letak headphone, yang sejak tadi tidak
kuperhatikan lagu apa yang diputar darinya, kemudian aku mengambil
barang-barangku, dan melangkah mengikuti barisan keluar dari pesawat. Benakku
masih memikirkan mimpi tadi.
Udara dingin yang sama sekali tidak
ramah menyambut kedatanganku. Dengan refleks, aku merapatkan jaket yang
kukenakan. Jaket yang dia berikan saat mengantarku ke bandara tadi. Hadiah untuk
dua tahun ini, katanya. Aku menyengir saat mengingat kembali adegan tadi. Jadi
maksudnya, selama dua tahun ini tidak akan ada hadiah lain lagi?
Aku memasukkan tangan kanan ke dalam
saku jaket. Ternyata udara musim dingin itu seperti ini. Begitu menusuk tulang.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, aku sendirian di negara asing. Tiba-tiba rasa
khawatirku tentang apa yang akan terjadi setelah dua tahun kembali menghantui
pikiranku. Bagaimana kalau mimpi benar-benar hanya mimpi belaka? Di saat aku
pulang setelah menyelesaikan studiku, apakah kami masih bisa seperti dulu? Apakah
dia akan menunggu?
Aku hanya bisa menyesali keraguanku
untuk bertanya padanya. Hingga saat aku menghilang dari pandangannya tadi,
masih belum kukatakan bahwa aku berharap dia menungguku. Tetapi, permintaan
seperti ini, sangat egois, bukan?
Pikiranku kembali tenggelam dalam
perdebatan yang terjadi setiap hari selama beberapa hari ini. Perdebatan yang
tiada akhir. Hingga tanganku merasakan ada sesuatu di dalam saku yang
seharusnya kosong itu. Kwitansi pembelian jaket ini, kah? Sebuah ide aneh
muncul dalam benakku. Tetapi, sesuai sekali dengan sifatnya yang suka memberi
kejutan. Otaknya merupakan sarang dari ribuan ide yang tidak dapat dipikirkan
orang lain.
Dengan tangan yang mulai menggigil,
aku keluarkan selembar kertas putih yang dilipat empat. Ini pasti tulisannya,
pikirku sambil membuka lipatannya, saat aku menyadari coretan kaku itu adalah
tulisan dalam bahasa Korea. Dia tidak pernah mau belajar bahasa Korea. Nggak
minat, katanya.
Hatiku berdetak lebih kuat sejenak
ketika deretan tulisan itu ditangkap indera penglihatanku.
기다릴게[2]
Darah dalam tubuhku seakan mengalir lebih cepat. Badan
yang tadinya hampir menggigil kini terasa begitu hangat, dari lapisan kulit
paling luar hingga ke organ-organ dalam tubuh. Pernahkah kau merasakan seperti
ini? Seperti akan demam tinggi dan harus segera berobat ke dokter.
Tiba-tiba, mataku terasa basah. Ah, tidak boleh.
Jangan sampai menangis di depan orang seramai ini. Aku terus mengerjapkan dan
membesarkan mataku, berusaha menghilangkan air mata yang bisa terjatuh setiap
saat.
Oh
baby say goodbye, for a short while goodbye.
The talk about goodbye, I’ll put it aside for a short while.
I’ll go back to the place
When I once was
The talk about goodbye, I’ll put it aside for a short while.
I’ll go back to the place
When I once was
When
I open that door and take one step
so that I can stand in front of you who i missed
so that I can stand in front of you who i missed
My
heart that loved you
my eyes that looked at you
I’ll wait.
my eyes that looked at you
I’ll wait.
Sebuah senyuman terbentuk dengan sendirinya di
wajahku. Benar-benar hadiah terbaik untuk dua tahun ini. Hadiah yang dapat
menghangatkan badanku, sedingin apapun udara di luar. Hadiah yang dapat menghangatkan
pikiranku, sedingin apapun dunia luar.
Aku menengadahkan kepala dan menatap langit.
Hei, apakah kau juga sedang melihat langit ini? Terima
kasih. Meskipun kesediaanmu untuk menungguku hanya dapat kubalas dengan
mengizinkanmu untuk menunggu, kumohon, tunggulah. Nantikanlah kepulanganku. Penantianmu
adalah dorongan terkuat bagiku untuk terus maju. Tetapi, tenanglah. Aku akan
segera pulang. Tenanglah, sebab kau tidak perlu menunggu lama. Dua tahun, tidak
berarti apa-apa bagi kita yang akan bersama selamanya.
after
time passed by when I meet you
I will tell you that I missed you
I will tell you that I missed you
No comments:
Post a Comment
Thank you for reading! Feel free to comment. :)