“Kau tidak capek seperti ini terus?”
Keningmu berkerut di
antara topi dan kacamata hitammu. Pertanyaan yang kulontarkan berhasil
menarik perhatianmu dari soda yang tengah kau nikmati. Beberapa
pengunjung café berdesas-desus sambil sesekali menunjuk ke arah kami.
Kau
menatap lurus padaku dengan pandangan penuh tanda tanya, kemudian
tersenyum dan menggeleng pelan. Syal putih pemberianku yang melingkar di
lehermu begitu cocok dengan killer smile itu.
Senyuman
tulus dan polos, seperti putihnya salju di musim dingin. Senyuman hangat
yang menjadi sumber energiku sejak sore dua tahun yang lalu, saat aku
menjawab pertanyaanmu dengan anggukan kepala, dan kau tersenyum karena
perasaanmu diterima.
“Aku capek,” kataku dengan nada tegas. Sebuah
pernyataan yang akan membawa pertemuan ini menuju akhir yang
menyedihkan, persis seperti naskahku. Mengingat hal ini saja membuat
hatiku perih.
“Kalau capek, istirahat saja,” tanggapmu santai, masih dengan senyumanmu itu.
Aku
mendecak lidah. “Kau tahu apa maksudku.” Kutatap kedua bola matamu
dengan raut wajah serius. “Selalu harus bertemu dalam keadaan seperti
ini. Kalau kau tidak capek, aku capek.” Tetapi, kalau dapat bertemu denganmu, bersamamu, aku rela.
“Tolonglah mengerti. Aku bukan…”
“Kau
bukan orang biasa. Kau artis. Aku tahu. Tetapi apakah kau tahu aku
hanya wanita biasa?” Aku mulai mengucapkan dialog yang telah kulatih
semalaman, karena khawatir kata-kataku akan tersendat. Khawatir akan
perasaanku yang aku yakin akan menguasaiku kapan saja.
Pertanyaanku
berhasil merenggut senyuman dari wajahmu. Tampangmu berubah serius.
Sebuah hembusan napas pasrah membantumu menjawab pertanyaanku tadi.
“Jadi?
Kau mau apa? Tidakkah kau sadar akan menjadi seperti ini kalau
bersamaku?” Tuduhanmu menyayat jantungku seperti pisau yang baru diasah.
Rasa sakit ini, bahkan membuat tenggorokanku panas. Rongga dadaku
seperti diapit batu besar. Sesak.
Tentu saja aku menyadari hal
itu. Sudah jutaan kali aku berkata pada diriku sendiri, jangan berharap
banyak pada hubungan ini. Tetapi, apakah aku bisa? Tidak. Apakah aku
mampu berhenti begitu saja? Tidak. Karena itulah, aku mengambil jalan
ini. Menghindar memang pilihan yang paling mudah, dan paling sesuai
bagiku saat ini.
Aku menghela napas. “Aku akan ke Paris besok. Aku tidak berharap berita kita mengganggu jalan hidupku.” Aku
tidak berharap berita kita memusnahkan semua yang kau bangun selama
ini, impianmu sejak dulu, mengapa kau masuk ke industri ini.
Matamu
membesar, lalu celingukan, berusaha mencari kata-kata yang cocok untuk
merespons pernyataanku. Bukan pertama kali aku melihatmu seperti ini,
yang biasanya akan berakhir dengan permohonan maaf darimu.
“Mianhae.”
Aku mendengus. “Mianhae? Lagi? Ini sudah ke berapa kalinya? Aku capek juga karena ini.” Karena aku tidak ingin melihat tampang sedihmu, saat kau sadar betapa kecewanya aku.
Setelah
merapikan topi dan syalku, aku berdiri. Iya, penampilanku tidak kalah
darimu. Topi, syal, kacamata hitam, dan kadang ditambah masker, seperti boneka salju yang akan meleleh begitu terkena sinar matahari.
“Aku
berharap pertemuan kita selanjutnya akan lebih profesional. Itu
kata-kata dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku serius. Benar-benar
serius.” Aku mengulurkan tangan, sedangkan kau hanya menatapku tanpa
bergeming. Rasa tercengangmu, rasa sedihmu, tertulis di wajahmu dengan
begitu jelas.
Tetapi, aku? Rasa sakitku? Apakah kau dapat merasakannya?
“Baiklah,”
kataku sambil menarik kembali tangan yang dibiarkan menggantung di
udara. Dengan tenagaku yang tersisa, aku mengembangkan seulas senyum.
“Sampai jumpa.”
Aku membalikkan badan persis saat setetes air mata
bergulir menuruni pipiku. Air mata yang telah aku tahan sejak pandangan
kami bertemu tadi pagi.
“CUT!”
Sahutan sutradara memenuhi café kecil itu. Seluruh staff bersorak. Akhirnya, syuting hari itu selesai.
“Ye
Eun-ssi!” sahut sutradara saat aku berpamitan untuk pulang. Senyumannya
sangat lebar. Sayang sekali, rasa senangnya tidak berhasil menular
kepadaku karena gagal menembus dinding yang telah dibangun dengan
serpihan hatiku.
Aku berusaha melepaskan diri, apalagi saat
melihat dia menarikmu ke arahnya. Tetapi aku tidak berhasil. Sutradara
yang terkenal banyak komentar itu terus memamerkan kelihaiannya:
berbicara.
“Aku benar-benar terpesona,” lanjut sutradara itu.
“Jujur, aku sempat khawatir saat kau berkata padaku bahwa kau akan
mengubah bagian dari naskah, Ye Eun-ssi.”
Dia berhenti dan
mengalihkan perhatiannya padamu. “Tetapi saat Jong Hyun-ssi meneteskan
air mata. Adegan di luar naskah yang mantap! Kalian benar-benar
menghayati peran! Persis seperti sepasang kekasih yang akan berpisah!”
Aku
hanya tersenyum. Sejenak aku melirikmu, penasaran dengan reaksimu.
Tetapi, yang kudapati hanya tatapanmu yang penuh dengan tanda tanya. Aku
memilih untuk menghindar dan meninggalkan lokasi syuting, daripada
menyesal akan keputusanku dan berkata padamu bahwa itu hanya akting.
Tidak.
Aku tidak ingin melihat raut wajahmu saat ditanya apakah kau mempunyai
pacar, saat ditanya wartawan siapa gadis yang kau temui pada sore
kemarin, saat meminta maaf karena telah membuatku kecewa.
Ponselku berdering begitu aku memasuki mobil. Ototku menegang. Jangan, aku belum bisa mendengar suaramu saat ini.
Deringan ponsel berhenti, berubah menjadi getaran singkat yang menandakan pesan masuk.
“Itu
yang kau maksud? Sebelum syuting? Berkata padaku untuk memerhatikan
setiap kata yang akan kau ucapkan? Berkata pada sutradara bahwa aku akan
dapat memberikan reaksi yang alami? Jadi? Apakah reaksiku cukup alami?”
Ternyata yang kau lakukan adalah membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan. Tentu saja. Apa lagi?
Tetapi,
apakah berlebihan jika aku berharap kau akan memintaku untuk tidak
pergi, setelah apa yang kukatakan tadi? Berharap kau akan mengatakan
bahwa aktingku bagus dan aku berbakat menjadi scriptwriter?
“Benar. Setelah drama ini, aku akan ke Inggris. Semoga pertemuan kita selanjutnya akan lebih profesional, Yoon Jong Hyun-ssi.”
Sent.
Air
mataku mulai membasahi pipi. Tanganku refleks menyekanya. Tetapi,
semakin aku menyeka, semakin deras tangisku. Seperti salju yang mulai
turun dan menutupi kaca mobil, dan wiper yang terus membersihkannya tanpa membawa hasil yang berarti.
No comments:
Post a Comment
Thank you for reading! Feel free to comment. :)