Monday, 26 March 2012

[Holiday Writing Challenge] 13 ~ Surprise


13

Surprise


“Cantik sekali!” sahut Fenny dengan tersenyum khasnya.

“Iya.” Jonathan bergumam.

“Lampu-lampu neon yang biasanya terkesan silau ternyata begitu indah jika dilihat dari atas,” seru Fenny girang. Senyuman tulus terbentuk di wajah manisnya itu. Senyuman yang selalu berhasil membuat Jonathan ikut tersenyum, yang selalu mengacaukan kecepatan debaran jantung Jonathan.

“Maksudku bukan lampu neon,” kata Jonathan.

Fenny mengernyit. “Lalu?” Gadis itu memutar kepalanya menghadap Jonathan. Raut wajahnya yang polos membuat senyuman Jonathan semakin melebar.

“Kamu,” jawab Jonathan singkat.

Fenny mendecak lidah sambil memasang tampang kesal dan memalingkan wajahnya. Tetapi dia tetap tidak dapat menahan rasa senangnya. Bibir yang dikerucutkan membentuk sebuah senyuman.

Ada-ada saja orang ini, pikirnya.

Keindahan pemandangan malam itu benar-benar bisa membuat seseorang terlarut dalam warna-warni cahaya lampu neon kota. Jika dilihat dari ketinggian itu, ternyata kota ini seperti sebuah gambar, seperti foto-foto yang sering dilihat di internet. Mungkin ada yang menganggapnya polusi cahaya, tetapi semua orang tetap harus mengaku, kerlap-kerlip lampu neon itu seakan-akan pantulan dari bintang di langit.

Fenny yang hampir tenggelam dalam keindahan pemandangan malam itu dikejutkan oleh sebuah pelukan dari belakang. Matanya melebar dan mulutnya spontan terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Suaranya seakan terkunci. Jantungnya mendadak seperti berhenti berdetak. Napasnya terhenti. Pipinya memanas. Apalagi saat dia merasakan dagu Jonathan yang menyandar di bahunya.

Ini pertama kalinya Jonathan bersikap seperti itu. Otak Fenny seakan berhenti berputar. Kosong. Seluruh tubuhnya membeku. Hanya matanya yang mulai bergerak-gerak tanpa tujuan di luar kendali.

Sejenak kemudian, masih dalam posisi seperti itu, Jonathan menggerakkan badannya sehingga badan Fenny ikut berputar. Fenny dapat merasakan cahaya lampu yang menerang dan meredup saat dia mulai menghadap ke arah taman dengan perlahan.

“Kamu yang melakukan semua ini?” tanya Fenny yang melepaskan diri dari pelukan Jonathan dan melangkah ke tengah taman sambil mengagumi lampu-lampu kecil warna-warni yang digantungkan pada ranting-ranting pohon.

“Bukannya kamu merasa ini kekanak-kanakan?” tanya Fenny lagi tanpa menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Ini hadiah dariku,” kata Jonathan dengan santai sambil berjalan dan ikut menikmati keindahan ‘bintang buatan’ itu.

Laki-laki itu menghembuskan napas sambil memandang senyuman gadis yang sibuk mengagumi dekorasi taman itu. Perlahan dia mengeluarkan ponselnya dan memotret gadis itu, dan senyumannya.

“Aku rasa, aku masih tetap aku yang egois itu,” gumam Jonathan. Dia tersenyum sambil melihat hasil jepretannya. Kali ini, senyumannya itu penuh arti dan penuh perasaan. Perasaan sakit yang teramat sangat.

Pada saat yang bersamaan, Jonathan merasakan kehadiran seseorang. Sambil menyimpan ponsel, dia membalikkan badannya dan membalas tatapan Roni yang menatapnya dengan tampang tidak percaya.

“Jangan membujukku. Tidak ada gunanya,” kata Jonathan saat dia melangkah mendekati Roni, dengan suara pelan yang hanya dapat didengar Roni. “Dia suka bintang. Bisa lama sekali dia melihat lampu-lampu itu. Biarlah dia seperti itu.” Jonathan meneruskan kata-katanya tanpa menghentikan langkahnya, hingga dia masuk ke dalam mobil dan menjalankan mesin.

“Ini pilihan yang terbaik,” kata Jonathan pada dirinya sendiri. Dia menghembuskan napas dengan kuat. Ternyata lebih mudah dari yang kukira, pikirnya.

Sudut mata Jonathan melirik kaca spion. Matanya membesar saat melihat Fenny yang berlari-lari mengejar mobilnya. Jantungnya terasa berat. Napasnya tiba-tiba terhenti.

Gadis itu berlari dengan sekuat tenaga, seakan berpikir dirinya dapat menyamakan kecepatan mobil. Mulutnya bergerak-gerak meneriakkan sesuatu. Tangannya sesekali menyeka air mata yang mengalir semakin deras.

Hati Jonathan seperti diiris pisau. Irisan yang pelan, dengan rasa sakit yang tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata. Dia seakan dapat mendengar teriakan Fenny yang memanggil-manggil namanya, menyuruhnya untuk berhenti.

Jonathan menutup matanya dan menghembuskan napas. Dia memalingkan wajahnya dari spion dan menatap lurus ke depan.

Maafkan aku, gumam Jonathan dalam hati. Mungkin suatu hari nanti aku akan menyesali semua ini, tetapi percayalah, ini yang terbaik untukmu.

Mobil yang dibawanya semakin laju, meninggalkan Fenny yang jatuh terduduk di tepi jalan dan tangisannya yang tersedu-sedu. Dalam mobil, setetes air mata jatuh membasahi lengan baju Jonathan.

Tuesday, 21 February 2012

[Lomba Fiksi Fantasi 2012] Hal-Hal yang Tidak Pernah Kamu Ketahui


[Lomba Fiksi Fantasi 2012] Hal-Hal yang Tidak Pernah Kamu Ketahui

Keyword : pasar malam, pohon pisang, gula-gula, rasi, salju, polkadot


            Akhirnya setelah  tiga tahun tinggal di sini, aku bisa kembali ke tempat itu lagi. Hari ini aku mendapat dispensasi selama beberapa jam waktu dunia manusia. Dalam waktu ini aku bisa kemana saja, melihat siapapun, dan melakukan apapun. Tetapi, kebebasanku ini bersyarat. Aku tidak diperbolehkan untuk menampakkan diriku di hadapan manusia atau memperdengarkan suaraku. Singkat kata, tidak ada seorangpun manusia yang boleh mengetahui keberadaanku di dunia mereka.
            Betapa senangnya perasaanku saat ini. Jujur, meskipun aku betah tinggal di dunia ini, aku tetap merindukan dunia dimana keluargaku dan orang-orang terdekatku berada. Dan tentu saja, dia. Aku ingin melihatnya sekali lagi, mendengar suaranya, dan mengetahui perubahan apa saja yang terjadi pada dirinya selama tiga tahun ini.
            Sekarang, aku berdiri di depan gerbang yang menghubungkan duniaku dengan dunia manusia. Aku berpikir semalaman, tentang tempat yang ingin ku kunjungi, orang yang ingin ku temui, dan juga hal-hal yang ingin ku katakan. Semakin aku memikirkannya, semakin aku ingin berbicara pada orang-orang yang ada. Banyak sekali yang ingin aku katakan.
            “Kamu diizinkan masuk ke dalam mimpi orang yang ingin kamu temui. Tetapi, izin ini tidak diberikan begitu saja. Persyaratan dispensasimu berubah. Hanya satu orang yang dapat kamu kunjungi selama tiga belas jam ini. Dan orang itu juga yang akan kamu temui dalam mimpinya. Lima belas menit waktumu dalam mimpi akan sama dengan satu jam waktu kunjugan biasa di luar mimpi. Gunakan waktumu dengan baik. Pilih orang yang paling ingin kamu temui.”
            Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Tiga belas jam. Dan waktu dalam mimpi, satu-satunya kesempatanku untuk berbicara, juga termasuk ke dalam jangka waktu itu.
            “Baiklah, Rio. Pikirkan tempat pertama yang ingin kamu kunjungi. Bayangkan tempat itu dalam benakmu saat kamu melangkah melalui gerbang ini,” kata Miran, penjaga gerbang yang menghubungkan dunia ini dengan dunia manusia.
            Kedua sisi gerbang di hadapanku bukan dinding atau kayu penyangga seperti yang ada di dunia manusia. Gerbang, dan semua pintu di dunia ini, menggunakan pohon pisang sebagai penanda. Mungkin oleh sebab itu, banyak cerita-cerita yang dihubungkan dengan pohon pisang.
            Pintu gerbang menghilang, meninggalkan sebuah permukaan bening yang sekilas terlihat seperti permukaan air. Inilah pintu menuju dunia manusia. Tidak, kami tidak bisa terbang, tidak mempunyai sayap, dan kami juga berjalan dengan menggunakan kaki. Sama sekali berbeda dengan yang ada dalam cerita.
            “Ingat. Jika waktu sudah sampai, kamu akan secara otomatis kembali. Gunakan waktumu dengan baik,” kata Miran sebelum aku melangkah memasuki permukaan bening itu dan menghilang dari pandangannya.
            Suara deru mobil menyerang gendang telingaku. Suara yang sudah tidak ku dengar selama tiga tahun. Di dunia baruku itu, tidak ada mobil, kami tidak perlu itu. Gerbang-gerbang untuk pergi ke tempat-tempat yang berbeda tersedia dimana-mana.
            Aku melihat ke sekeliling. Ternyata tempat ini sama sekali tidak berubah. Mega World, tempat kami bertemu untuk pertama kalinya.
            Iya, aku sudah memutuskan untuk mengunjungi Tiara. Tetapi aku tidak tahu dimana dia berada sekarang. Yang dapat aku lakukan hanya berharap dia akan muncul di dalam pandanganku secara tiba-tiba. Sebab, dia tidak dapat melihatku.
            Jadi, aku akan pergunakan waktu ini dengan baik. Aku akan mengunjungi semua tempat yang menjadi kenangan saat aku masih hidup dulu. Sebab aku sudah memutuskan untuk memberi tahu Tiara segalanya yang tidak diketahuinya. Semua yang aku tidak katakan padanya, akan ku beri tahu malam ini. Dan proses penyusunan naskahku akan dimulai dari Mega World.
            Pertama tentu saja dimulai dari toko buku tempat kami pertama bertemu. Dia pasti tidak mengetahui bahwa kami telah bertemu sebelum diperkenalkan oleh senior di acara drama kampus.
            Aku melangkah masuk ke dalam toko buku itu. Interior dari toko buku itu terbuat dari kayu, sampai sekarang hal ini tidak berubah. Kakiku berhenti di depan kasir ke dua dari pintu masuk. Dulu, dia selalu bertugas di sini, tepat di depan deretan buku astronomi, bagian yang paling sering aku kunjungi.
            Mungkin dia sudah lupa, bagaimana interaksi pertama kami. Dia sedang membawa setumpuk buku. Saat dia melewati sisiku, aku tidak sengaja menyenggolnya.
            “Maaf.” Itulah ucapan pertama yang dia tujukan padaku. Setelah aku membantunya memungut buku-buku yang terjatuh, senyuman di wajahnya berhasil menarik perhatianku. Dan sejak hari itu, aku semakin sering berkunjung ke toko buku ini. Dia tidak akan tahu, bahwa setelah itu tujuan kunjunganku adalah dia.
            Aku meninggalkan toko itu dan berjalan menuju kafe di seberang. Dulu aku sering datang ke kafe ini. Karena dari tempat duduk di sudut depan kafe, melalui kaca besar kafe, aku bisa melihat dia bekerja, tersenyum pada pelanggan, dan bercanda pada teman-teman.
            Menunggu kesempatan yang pas untuk memasuki kafe ini tidaklah mudah. Tidak seperti toko buku tadi yang terbuka, pintu kafe ini akan tutup otomatis jika tidak ditahan. Dengan susah payah, aku berhasil masuk ke dalam. Tetapi, sayangnya, tempat duduk langgananku sudah diduduki seorang gadis.
            Aku hanya bisa berdiri di dekat pintu, melihat ke arah meja itu dan terus mengingat hari-hari yang kami lewati, dimana aku berperan sebagai teman baiknya.
Mungkin karena aku sedang memikirnya, gadis yang sedang duduk di hadapanku itu terlihat seperti Tiara. Aku hanya tersenyum.
“Tidak mungkin,” gumamku sambil menggeleng.
Gaya berpakaian gadis itu sangat modis. Blazer putih polos, rok, dan sepatu boots cokelat. Rambutnya yang panjang dan bergelombang terurai di lengannya. Sangat berbeda dengan Tiara. Tiara pernah mengatakan bahwa gaya pakaiannya tidak akan berubah. Terutama sepatu motif polkadot yang menjadi favoritnya. Tetapi, alangkah bagusnya jika Tiara berdandan seperti itu. Mungkin dia akan kelihatan sama cantiknya dengan gadis ini.
Tunggu dulu. Atau gadis ini memang Tiara? Aku pernah melihat drama yang dipentaskan di kampus. Tiara pernah berdandan seperti ini di dalamnya. Persis.
Senyuman yang terbentuk di wajahku sirna. Dugaanku salah. Gadis itu meletakkan gula yang disediakan kafe ke satu sudut, dan langsung meminum minumannya. Gadis ini tidak suka yang manis. Sedangkan Tiara, dia suka sekali makanan manis. Dia selalu menerima gula-gula pemberianku dengan senang dan aku menjadi terbiasa membelikan gula-gula untuknya. Karena aku ingin melihat senyuman di wajahnya saat dia mendapat gula-gula itu. Senyuman yang lebih manis daripada manisan apapun di dunia ini.
Aku menggeleng, menertawakan diriku yang terlalu hebat berimajinasi. Sampai-sampai berpikir bahwa gadis itu adalah Tiara. Tetapi, gadis itu berhasil membangkitkan perasaan yang sudah lama terbenam dalam hatiku.
Tanpa sadar aku sampai di tempat itu, tempat kecelakaan itu terjadi tiga tahun yang lalu. Aku menyandarkan diri pada pagar baru yang dibuat. Pagar ini terlihat lebih kokoh daripada pagar yang dirusakkan bis yang aku tumpangi pada malam tahun baru tiga tahun yang lalu.
Tiga tahun yang lalu, dengan perasaan senang bercampur gugup, aku pergi ke pasar malam di pinggiran kota. Akhirnya aku memberanikan diri mengajaknya keluar berdua, yang selama setahun kami berteman, tidak pernah sekalipun aku lakukan. Tetapi, aku tidak pernah bertemu dengannya malam itu. Kecelakaan naas itu berhasil merenggut nyawaku di tempat ini juga.
“Kalau saja kamu tahu, Tiara,” kataku sambil menatap ke langit. “Kalau saja kamu tahu aku sering ke perpustakaan karena kamu sering mengunjunginya. Kalau saja kamu tahu alasan mengapa selalu ada gula-gula di mejamu. Karena aku yang meletakkannya sebelum kamu masuk ke kelas. Karena aku tahu kamu selalu duduk di tempat yang sama, meskipun kami beda kelas. Aku bukan penguntit, tetapi sejak bertemu denganmu, tanpa ku sadari, semua yang aku lakukan berporos pada dirimu.”
Helaan napasku terdengar berlebihan. Tetapi tidak cukup untuk menunjukkan betapa sakitnya hatiku. Perasaan yang terpendam sekian lama, padahal aku mempunyai banyak kesempatan untuk menyatakannya. Saat sedang berdua di perpustakaan, saat aku berdiri di luar ruangan dan hanya ada dia seorang yang di dalam. Banyak sekali saat-saat seperti ini, saat-saat yang tidak pernah kupergunakan dengan baik.
Salju mulai turun. Aku menengadahkan kepala. Langit sudah gelap ternyata. Waktuku tidak banyak lagi. Aku tidak seharusnya seperti ini. Aku harus memikirkan apa yang ingin kukatakan pada Tiara malam ini.
Aku sedang berusaha membangkitkan semangat diri saat sesuatu yang bergerak di samping menarik perhatianku. Ternyata gadis di kafe tadi. Mengapa dia di sini? Aku terdiam dan mengamatinya. Dia meletakkan sesuatu di tanah, berdiri sebentar, dan meninggalkan tempat itu.
Penasaran, aku segera berjalan ke sana. Hanya sepucuk surat dan sebutir gula-gula. Tanpa memperhatikan keadaan sekitar, aku memungut surat itu dan mulai membacanya.
=====
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa aku sadari, tiga tahun sudah berlalu. 1095 hari tanpamu. Dan aku berhasil melewatinya. Jadi, aku menulis ini dengan penuh perasaan bangga.
Sebenarnya, pertama kali kami bertemu itu di kampus, tetapi bukan di aula pelatihan drama. Tempat pertama kali aku melihatmu adalah di perpustakaan. Saat itu aku menelusuri rak-rak buku dalam perpustakaan tanpa tujuan dan berhenti di depan rak buku astronomi. Kamu yang membantuku mengambil buku di rak yang tinggi itu dan pergi begitu saja saat aku mengucapkan terima kasih. Kamu tidak tahu, kan? Aku benar-benar tertarik oleh sifat kalemmu.
Dan kami bertemu kedua kalinya di toko buku tempat aku bekerja paruh waktu. Aku ditugaskan di bagian gudang dan sedang mengisi rak yang sudah kosong. Kamu muncul begitu saja di hadapanku. Tanganmu mengambil majalah astronomi. Aku masih ingat bagaimana kamu meminta maaf berulang kali saat buku-buku yang kubawa jatuh. Ada hal yang harus ku akui, sebenarnya, aku sengaja menjatuhkan mereka. Maaf.
Tetapi sejak hari itu, aku yakin kamu sangat hobi dengan astronomi. Aku juga selalu meminta senior tempat kerjaku untuk menempatkanku di kasir tepat di depan rak buku astronomi. Dan, tentu saja, aku mulai mempelajari bidang ini, supaya suatu hari nanti, saat sedang ngobrol berdua, aku juga bisa memulai percakapan yang menarik perhatianmu.
Ternyata kerja kerasku tidak sia-sia. Saat senior memperkenalkan kami, kamu sempat tercengang dengan pengetahuanku mengenai rasi bintang. Langkah pertamaku berhasil. Aku meninggalkan kesan dalam benakmu.
Tetapi kamu benar-benar tidak bisa diharapkan. Berkali-kali aku memberikanmu kesempatan, bahkan mengusir semua orang dari kelas saat kelas terakhir selesai. Kamu hanya berdiri di belakang pintu, menungguku untuk keluar. Itulah alasan mengapa setiap kali kejadian seperti ini, aku selalu terlihat cemberut di hadapanmu. Sekali lagi, maaf.
Hari itu, aku senang sekali kamu mengajakku ke pasar malam. Dan aku memutuskan untuk memakai pakaian yang sedikit berbeda dari biasanya. Gaya pakaian seperti di dalam drama kampus, gaya pakaian yang menurutmu cocok sekali denganku. Tetapi kamu tidak kunjung datang. Aku baru tahu apa yang telah terjadi keesokan harinya. Maaf, karena aku tidak membawa ponselku dan tidak bisa menghubungimu.
Tiga tahun sudah berlalu, dan hari ini, seperti tiga tahun yang lalu, salju turun dengan indahnya. Semoga kamu baik-baik saja di sana.

Tiara

N.B. Gula-gula ini untukmu. Terima kasih atas gula-gula yang kamu letakkan di mejaku selama masa perkuliahan. Aku sengaja tidak pindah tempat duduk untuk memudahkanmu. Dan juga, sebenarnya, aku tidak suka yang manis. Terima kasih atas segalanya.

Thursday, 26 January 2012

FanFic : The First Time

Disclaimer :
All the characters involved do not belong to me.
Lee Sungmin [lead], Cho Kyuhyun, Choi Siwon [mentioned] belong to themselves respectively.
Park Sunhee belongs to @nadyyapratiwi
The stylists and the storyline belong to my imagination.

THIS IS A FANFICTION. ANY RESEMBLANCE IS PURELY COINCIDENTAL.

Author : Lidya Yang
==========================================================================



“Sungmin-ssi [1].” Seorang laki-laki mendekati Lee Sungmin yang sedang duduk di depan meja rias. Sungmin melihat ke dalam cermin dan mendapati Kang Wooyeon, salah satu stylist Super Junior sedang tersenyum padanya. Di sampingnya berdiri seorang gadis yang belum pernah dia lihat sebelum itu.

“Ini Park Sunhee. Dia ke sini sebagai wakil dari Yuna yang berhalangan hadir.” Wooyeon memulai perkenalan itu. “Hari ini hari pertama dia ke sini.”

Sunhee membungkukkan badannya dan memberi salam pada Sungmin yang segera berdiri dan menyapanya kembali. Diam-diam Sunhee menghela napas lega. Dia mengira Kang Wooyeon akan mempermalukannya di depan semua orang setelah Sunhee melakukan kesalahan yang teramat bodoh pada hari pertamanya itu.

Para stylist senior mengadakan rapat mendadak saat salah satu pakaian yang akan dikenakan pada sesi pemotretan hari itu mengalami kerusakan, sehingga mereka harus segera mencari pakaian yang sesuai. Kang Wooyeon langsung memaparkan penataan yang dipikirkannya. Begitu dia selesai menyatakan pendapatnya, Sunhee memberikan komentar yang mengejutkan seisi ruangan, termasuk dirinya sendiri.

“Saya rasa, penataan seperti itu kurang cocok.” Gumaman itu terdengar jelas di dalam ruangan yang sepi. Gumaman yang berhasil memancing kekesalan Wooyeon sebagai stylist senior.

“Baiklah, kalau kamu begitu hebat, pengganti Yuna. Menurutmu seharusnya bagaimana?” tantang Wooyeon.

Dengan ditemani debaran jantung yang semakin kencang dan pandangan tercengang stylist lainnya, Sunhee berdiri dan menyatakan pendapatnya. Penataan warna, model pakaian, semuanya dipaparkan dengan hati-hati. Dia tidak ingin membuat kesalahan lagi.

“Jadi menurutmu itu?” Wooyeon tersenyum sinis dan menggeleng. Suaranya terdengar menggema dalam ruangan yang hening. “Kamu…”

Kata-katanya dipotong oleh tepukan tangan dari Lee Yoon, stylist paling senior di antara yang hadir. Kombinasi yang bagus, demikian komentarnya.

Sunhee mengira Kang Wooyeon akan menggunakan kesempatan ini untuk membalas dendam saat pria itu mengajukan dirinya sendiri untuk memperkenalkan Sunhee pada staf yang lain. Tetapi ternyata tidak. Laki-laki itu memperkenalkannya kepada semua orang yang hadir pada sesi pemotretan itu sebagaimana perkenalan biasa. Dia bahkan mengatakan pada mereka bahwa Sunhee adalah stylist berbakat dan memaparkan pujian-pujian lainnya, sambil meminta mereka untuk memperhatikan dan membimbing Sunhee.

“Jadi, Sunhee-ssi. Tunjukkan kehebatanmu yang sebenarnya pada semua orang.” Suara Kang Wooyeon tiba-tiba menjadi lantang. Semua yang berada dalam ruang rias itu menoleh ke arah mereka. “Kamu juga yang telah memilih pakaian Sungmin-ssi. Jadi sekarang, saya rasa, kamu pilihan terbaik untuk menata rambutnya juga.” Wooyeon menutup kata-katanya dengan senyuman penuh arti.

“Sunhee-ah, kamu ke sana saja dulu. Biar aku saja,” kata seorang wanita yang mendekat.

“Tidak, Jiyeon. Sunhee sangat berbakat dalam hal ini. Yuna juga pernah mengatakan hal yang serupa, bukan? Percayalah padanya,” kata Wooyeon. “Sunhee-ssi, berikan yang terbaik. Saya sangat menanti hasil kerjamu,” katanya lagi sambil menyuruh Jiyeon untuk menata rambut Kyuhyun yang baru masuk ke ruangan.

Sunhee hanya menatap kepergian kedua orang stylist senior itu tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia merasakan beban berat yang tiba-tiba memberi tekanan yang demikian kuat pada pundaknya hingga dia tidak dapat berdiri tegak lagi.

“Kamu menyinggungnya tadi?” tanya Sungmin pada Sunhee yang terus melihat ke arah kedua stylist senior yang baru saja meninggalkan mereka.

“Aku rasa begitu,” gumam Sunhee sambil menoleh ke dalam cermin. Kedua pipinya langsung memerah saat mendapati Sungmin sedang menatap lurus pada pantulannya dalam cermin. Pandangannya yang begitu tulus membuat jantung gadis itu berdebar lebih kuat untuk sesaat. “Sa… Saya rasa ada baiknya Jiyeon-eonni[2] saja yang…”

“Tidak perlu.” Sungmin menyela dengan senyuman hangat. “Aku percaya kamu bisa. Kata yang lain, pakaian yang seharusnya aku kenakan bermasalah. Ini kamu sendiri yang memilihnya tadi?” tanya Sungmin sambil mengisyaratkan pada baju yang sedang dikenakannya dengan dagu.

Sunhee mengangguk sambil tersenyum malu. Dia tidak mengira Lee Sungmin, anggota Super Junior yang begitu terkenal akan berbicara padanya. Dia bahkan tidak mengira bisa bertemu dengannya.

“Ayolah. Wooyeon-ssi sedang melihatmu,” kata Sungmin, menarik pikiran Sunhee yang mulai kemana-mana kembali ke kenyataan.

Melalui pantulan cermin, Sunhee dapat melihat sepasang mata sedang menatap lurus padanya dari sudut ruangan. Dia bahkan dapat merasakan aura permusuhan yang begitu kuat. Gadis itu menarik napas dalam dan menghembuskannya lagi untuk menenangkan dirinya.

“Pemotretan akan dimulai tiga puluh menit lagi,” sahut seorang staf yang menyembulkan kepalanya melalui pintu yang terbuka.

“Baiklah, stylist yang berbakat, mohon bantuannya,” kata Sungmin sambil tersenyum. “Kalau bisa, aku ingin dimasukkan ke dalam kelompok visual setelah sesi pemotretan ini.”

Sunhee tersenyum. Dia dapat merasakan dorongan semangat yang kuat dari kata-kata Sungmin yang baru dilontarkan dengan nada yang begitu santai.

“Aku mengerti, Sungmin-ssi. Tenang saja. Penampilanmu akan sebanding dengan Siwon-ssi,” kata Sunhee dengan nada tegas. Raut wajahnya yang serius membuat Sungmin terkekeh-kekeh.

“Aku akan sangat senang kalau hal itu terjadi,” kata Sungmin. “Ayo, kita mulai.”

***

Sunhee menghembuskan napas lega dalam ruang rias yang sudah kosong. Semuanya sudah pergi ke ruang pemotretan. Gadis itu tersenyum pada dirinya sendiri. Tidak dapat dipercaya, dengan tangannya ini, dia menata rambut Sungmin. Lee Sungmin! Mereka bahkan berbicara dengan santai!

“Terima kasih,” gumam Sunhee sambil menggenggam sekaleng soda yang disodorkan Sungmin sebelum pria itu meninggalkan ruangan.


[1] Mr/Mrs/Miss
[2] Panggilan seorang gadis/wanita pada wanita yang lebih tua darinya
==========================================================================

My first ever published fanfic. It's been quite a while since I last wrote one. Especially dedicated to @nadyyapratiwi

All sorts of critics and comments are welcomed~ I'm still learning~ :)