Monday 26 March 2012

[Holiday Writing Challenge] 13 ~ Surprise


13

Surprise


“Cantik sekali!” sahut Fenny dengan tersenyum khasnya.

“Iya.” Jonathan bergumam.

“Lampu-lampu neon yang biasanya terkesan silau ternyata begitu indah jika dilihat dari atas,” seru Fenny girang. Senyuman tulus terbentuk di wajah manisnya itu. Senyuman yang selalu berhasil membuat Jonathan ikut tersenyum, yang selalu mengacaukan kecepatan debaran jantung Jonathan.

“Maksudku bukan lampu neon,” kata Jonathan.

Fenny mengernyit. “Lalu?” Gadis itu memutar kepalanya menghadap Jonathan. Raut wajahnya yang polos membuat senyuman Jonathan semakin melebar.

“Kamu,” jawab Jonathan singkat.

Fenny mendecak lidah sambil memasang tampang kesal dan memalingkan wajahnya. Tetapi dia tetap tidak dapat menahan rasa senangnya. Bibir yang dikerucutkan membentuk sebuah senyuman.

Ada-ada saja orang ini, pikirnya.

Keindahan pemandangan malam itu benar-benar bisa membuat seseorang terlarut dalam warna-warni cahaya lampu neon kota. Jika dilihat dari ketinggian itu, ternyata kota ini seperti sebuah gambar, seperti foto-foto yang sering dilihat di internet. Mungkin ada yang menganggapnya polusi cahaya, tetapi semua orang tetap harus mengaku, kerlap-kerlip lampu neon itu seakan-akan pantulan dari bintang di langit.

Fenny yang hampir tenggelam dalam keindahan pemandangan malam itu dikejutkan oleh sebuah pelukan dari belakang. Matanya melebar dan mulutnya spontan terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Suaranya seakan terkunci. Jantungnya mendadak seperti berhenti berdetak. Napasnya terhenti. Pipinya memanas. Apalagi saat dia merasakan dagu Jonathan yang menyandar di bahunya.

Ini pertama kalinya Jonathan bersikap seperti itu. Otak Fenny seakan berhenti berputar. Kosong. Seluruh tubuhnya membeku. Hanya matanya yang mulai bergerak-gerak tanpa tujuan di luar kendali.

Sejenak kemudian, masih dalam posisi seperti itu, Jonathan menggerakkan badannya sehingga badan Fenny ikut berputar. Fenny dapat merasakan cahaya lampu yang menerang dan meredup saat dia mulai menghadap ke arah taman dengan perlahan.

“Kamu yang melakukan semua ini?” tanya Fenny yang melepaskan diri dari pelukan Jonathan dan melangkah ke tengah taman sambil mengagumi lampu-lampu kecil warna-warni yang digantungkan pada ranting-ranting pohon.

“Bukannya kamu merasa ini kekanak-kanakan?” tanya Fenny lagi tanpa menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Ini hadiah dariku,” kata Jonathan dengan santai sambil berjalan dan ikut menikmati keindahan ‘bintang buatan’ itu.

Laki-laki itu menghembuskan napas sambil memandang senyuman gadis yang sibuk mengagumi dekorasi taman itu. Perlahan dia mengeluarkan ponselnya dan memotret gadis itu, dan senyumannya.

“Aku rasa, aku masih tetap aku yang egois itu,” gumam Jonathan. Dia tersenyum sambil melihat hasil jepretannya. Kali ini, senyumannya itu penuh arti dan penuh perasaan. Perasaan sakit yang teramat sangat.

Pada saat yang bersamaan, Jonathan merasakan kehadiran seseorang. Sambil menyimpan ponsel, dia membalikkan badannya dan membalas tatapan Roni yang menatapnya dengan tampang tidak percaya.

“Jangan membujukku. Tidak ada gunanya,” kata Jonathan saat dia melangkah mendekati Roni, dengan suara pelan yang hanya dapat didengar Roni. “Dia suka bintang. Bisa lama sekali dia melihat lampu-lampu itu. Biarlah dia seperti itu.” Jonathan meneruskan kata-katanya tanpa menghentikan langkahnya, hingga dia masuk ke dalam mobil dan menjalankan mesin.

“Ini pilihan yang terbaik,” kata Jonathan pada dirinya sendiri. Dia menghembuskan napas dengan kuat. Ternyata lebih mudah dari yang kukira, pikirnya.

Sudut mata Jonathan melirik kaca spion. Matanya membesar saat melihat Fenny yang berlari-lari mengejar mobilnya. Jantungnya terasa berat. Napasnya tiba-tiba terhenti.

Gadis itu berlari dengan sekuat tenaga, seakan berpikir dirinya dapat menyamakan kecepatan mobil. Mulutnya bergerak-gerak meneriakkan sesuatu. Tangannya sesekali menyeka air mata yang mengalir semakin deras.

Hati Jonathan seperti diiris pisau. Irisan yang pelan, dengan rasa sakit yang tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata. Dia seakan dapat mendengar teriakan Fenny yang memanggil-manggil namanya, menyuruhnya untuk berhenti.

Jonathan menutup matanya dan menghembuskan napas. Dia memalingkan wajahnya dari spion dan menatap lurus ke depan.

Maafkan aku, gumam Jonathan dalam hati. Mungkin suatu hari nanti aku akan menyesali semua ini, tetapi percayalah, ini yang terbaik untukmu.

Mobil yang dibawanya semakin laju, meninggalkan Fenny yang jatuh terduduk di tepi jalan dan tangisannya yang tersedu-sedu. Dalam mobil, setetes air mata jatuh membasahi lengan baju Jonathan.