Saturday 29 September 2012

Langkah Ke-101


Aku duduk termenung di depan laptop. Telepon darimu membuat hari Sabtu yang cerah ini kelam seketika. Aneh. Sejak kapan mendapat panggilan darimu menjadi sesuatu yang membuatku sedih? Sepanjang ingatanku, mendengar suaramu selalu merupakan hal yang menyenangkan. Jadi, mengapa perasaanku seperti ini?

Sakit. Sangat sakit, saat aku sepenuhnya sadar bahwa senyumanmu padaku sama saja dengan senyumanmu yang kaulontarkan pada orang lain. Sangat menyesakkan, saat aku tahu bahwa usahaku selama ini sia-sia. Aku tetap bukan orang yang istimewa.

Tidak. Untuk kali ini, aku tidak akan memenuhi ajakanmu lagi. Aku tidak akan memusingkan diriku dengan apa yang akan kaubicarakan atau apa yang pakaian apa yang harus kupakai.

Tanpa aba-aba, tanganku menghidupkan laptop dan membuka folder yang terkunci, yang berisi rahasiaku. Setiap huruf di dalamnya adalah cermin dari apa yang kurasakan karena dirimu, dan tidak ada yang boleh membacanya. Mengapa? Karena aku tidak ingin ada yang mengetahui isinya. Rahasiaku yang dengan susah payah kusembunyikan. Darimu.

Judul tulisan yang terakhir “Langkah ke-100”, memperingatiku bahwa aku harus berhenti perjalanan ini. Perjalanan menutupi jarak di antara kita, dari langkah pertama hingga langkah ke-100. Aku rela menapak setiap langkah itu sendirian, tanpa harus kau bergerak sedikitpun. Mungkin mereka yang tahu akan menertawakanku. Tetapi, aku tidak akan berkomentar apa-apa, sebab aku rela.

Tetapi, aku tidak bodoh. Jika hingga langkah ke-100 juga ternyata jarak kita belum tertutup, jika hingga langkah ke-100 juga aku masih belum dapat mencapaimu, aku akan berhenti. Dan 100 langkah yang telah kuambil itu akan merupakan kenangan indah, rahasia pahit yang akan kupendam selamanya.

Sekarang, saat itu sudah sampai. Ternyata 100 langkah benar-benar tidak cukup. Selesai sudah perjuangan yang sia-sia ini.

Jemariku dengan lincah menari-nari di atas keyboard. Melampiaskan perasaanku dengan cara ini merupakan kebiasaan yang telah terbentuk sejak hari pertama aku menyadari bahwa kehadiranmu bagiku bukan hanya teman semata. Dalam hitungan detik, selesailah tulisan hari ini.

Entri 29 September 2012:
        Judul: fin
        Kau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Kali ini, aku sudah memantapkan hatiku, mengeraskan perasaanku. Aku tidak akan terjerumus dalam senyumanmu padaku, yang tidak mempunyai makna istimewa itu.

Aku menghela napas lega. Selesai sudah. Mulai sekarang, aku akan menjadi seseorang yang baru, bukan lagi gadis bodoh yang selalu mengharapkan dirimu. Dan kuharap dengan begitu, kau akan sadar, bahwa kehadiranku ternyata demikian penting.

Setelah memantapkan pikiranku, aku mulai menjelajah beberapa dari daftar tulisan dalam folder. Entah apa yang mendorongku membuat hal yang tidak berarti ini. Dan ternyata sudah demikian lama aku menulis di sini, lebih dari setahun. Berarti, selama itu jugalah aku memendam perasaanku ini. Dan selama itu jugalah, kau yang hanya menganggapku teman, tidak menyadarinya.

Langkah ke-1:
Dan hari ini, kau lagi-lagi menjemputku saat akan ke kampus. Katamu, karena satu arah, jadi sekalian saja. Saat kau katakan mulai hari ini, kau bersedia menjadi supir pribadiku untuk seterusnya, kau tahu bagaimana perasaanku? Ya, langkah awal yang baik.

Langkah ke-13:
Kau menyetujui ajakanku untuk menghadiri reuni SMA. Kau bahkan sibuk bertanya-tanya apa yang harus kau kenakan. Dalam pandanganku, kau seperti seorang gadis yang gugup sebelum first date. Satu langkah lebih dekat lagi.

Langkah ke-24:
Hari ke-8 kita tidak berbicara. Padahal kita bertengkar hanya gara-gara hal kecil. Tetapi, tanpa sengaja, aku mendengarmu bercerita pada teman, bahwa kau merasa tidak terbiasa tanpa diriku yang meracau di sisimu. Meski kita sedang perang dingin, tetapi ini suatu proses yang bagus, kan?

Langkah ke-51:
Kau dengan bangga memamerkan hadiah dari dia, pacarmu itu yang baru pulang dari Australia untuk melewati liburan kuliahnya. Dia, yang juga teman baikku, orang yang memperkenalkan kita. Tetapi, kau juga mengucapkan terima kasih padaku yang berperan banyak dalam hidupmu, terutama di saat kau memerlukan dukungan. Hei, kau yang masih tidak tahu apa-apa, kalau saya yang duluan mengenalmu, apakah statusku masih sekadar teman?

Langkah ke-72:
Kau menanyakan pendapatku tentang gadis yang kau kenalkan padaku kemarin. Setelah beberapa bulan memutuskan hubungan LDR-mu, kau menemukan ‘dia’ yang baru. Apa yang harus kukatakan? Alhasil, aku hanya membisu. “Kau tidak menyukainya?” tanyamu. Kau tahu apa yang membuatku tercengang? Saat aku mengangguk, kata-kata yang kau ucapkan tanpa memikir lebih jauh. “Kalau begitu, dia out.” Bagimu, pendapatku penting, kan?

Langkah ke-89:
Setelah bermalam-malam kekurangan tidur karena mengejar laporan, aku jatuh sakit juga. Dan kau, membatalkan janji temu dengan adik kelas yang manis itu, hanya karena ingin menemaniku. Kau begitu mengkhawatirkanku.

Langkah ke-100:
Aku membawa kue buatanku sendiri, bertandang ke rumahmu, hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan dengan harapan dapat merayakan hari istimewa ini berdua. Kau dengan senang menyambutku, mengacak-acak rambutku, dan mulai mengatakan betapa beruntungnya dirimu mempunyai seorang teman yang pandai membuat kue. Ternyata, aku masih teman. Ternyata, langkahku yang ke-100, belum cukup untuk menutupi jarak di antara kita. Sebenarnya, masih berapa langkah lagi yang dibutuhkan?

Aku menghembuskan napas pelan. Pasrah. Kepalaku pusing. Kau mendekat lalu menjauh, tetapi kau tidak pernah menolak kebaikanku, kau  bahkan membalasnya dengan hal yang membuat hatiku berdebar lebih kencang. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku dapat melepas begitu saja?

Bagaimana kalau ternyata jika aku terus menunggu dan terus melangkah, kau akan menyadari kelalaianmu selama ini? Dari langkah pertama hingga langkah ke-100, itulah kemajuan dari hubungan kita. Kemajuan yang hanya ada karena diriku yang tidak putus asa.

What if, it seems like you’re going to love me
Because it seems like you’re going to come to me if I just wait a little
With these anticipations, I can’t leave you

Ponselku berdering di saat yang tepat. Aku memerlukan sesuatu untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi, begitu aku melihat namamu yang tertera di layar, napasku tercekat untuk sesaat. Apakah ini sebuah pertanda?

Sudah siap? Aku berangkat sekarang.

Pesan singkat itu membuatku tertegun. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, SMS seperti ini sudah pernah kaukirim untuk banyak gadis yang lainnya bukan? Tidak hanya aku, meskipun aku dikenal sebagai gadis yang paling dekat denganmu. Namun, juga dikenal sebagai gadis yang berlabel teman bagimu.

Even though I wanted to believe that that smile was just for me
It probably isn’t, right?
But still, just maybe

Hei, kalau sebenarnya jarak di antara kita ada 1000 langkah. Apakah mungkin bagiku untuk menapak kesemua langkah itu? Apakah aku dapat berharap kau akan mulai melangkah ke arahku juga?

Dua buah suara dalam diriku berdebat. Otakku melontarkan berbagai logika, hatiku menolak dengan alasan yang mungkin saja hanya berupa harapan palsu. Tetapi, aku ingin berpegangan pada harapan itu. Sebab itulah yang memotivasiku selama ini. Dan aku yakin, harapan itu juga akan terus mendorongku untuk seterusnya, berapapun panjangnya jarak yang harus kulalui.

These thoughts are useless
For I’m already living in the deeply set times of you

Aku membuka kembali draf terbaru itu dan mulai mengetik. Salah. Mengedit.
Entri 29 September 2012:
        Judul: Langkah ke-101
        Kau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Dan kali ini sudah kuputuskan, berapapun langkah yang harus kutapak, aku akan terus maju. Sebab, siapa tahu, kalau aku terus menunggu, kau akan datang padaku. Ya, benar. Aku memang bodoh.

Even though pain is heavy
Still, I feel like you’ll love me

=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: What If By Super Junior
Post #10 of #30HariLagukuBercerita

Wednesday 26 September 2012

Gidarilge -기다릴게-


Aku melangkah keluar pintu kaca yang terbuka secara otomatis, dengan bagasi dan ransel yang telah menemaniku selama perjalanan yang melelahkan ini. Perjalanan selama dua tahun yang membuat perasaanku sekarang bercampur aduk. Senang, bangga, tetapi juga khawatir dan takut.

Hei, bukan setiap hari seorang lulusan S2 jurusan arsitektur yang mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di Korea Selatan pulang ke negara asalnya. Mendapat beasiswa seperti itu saja sudah suatu anugerah besar yang tidak terjadi pada sembarang  orang.

Tetapi, dua tahun. Itu yang menjadi masalah. Aku tidak tahu apa yang telah berubah, dan apa yang tidak. Selama ini, aku hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman melalui dunia maya. Demikian juga keadaannya dengan dia. Dia yang selama ini terus menempati di posisi istimewa dalam hatiku. Tetapi, setelah dua tahun, apakah posisiku baginya masih sama seperti dulu?

Langkahku memelan, dan kemudian terhenti, saat aku menyadari tidak ada yang menjemputku di bandara. Bahkan keluargaku pun tidak datang. Aku mendecak lidah kesal. Tetapi, ada atau tidak yang menjemputku, aku juga harus pulang ke rumah. Bisa kemana lagi?

Aku mendesah sebelum bergerak lagi. Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan tiba-tiba menutup mataku dari belakang dan menahan ayunan langkahku. Tangan yang lembut. Sentuhannya seakan takut kacamataku akan retak begitu mengenai tangannya. Jangan-jangan…

Aku segera menurunkan tangan itu dan membalikkan badan.

Dia berdiri di sana, dengan senyumannya yang khas, yang selama ini hanya dapat kubayangkan, yang selama ini begitu kurindukan. Dia… datang.

Terdengar sorakan dari belakang. Sorakan kacau yang menarik perhatian orang-orang sekitar. Sama seperti mereka yang terkejut, aku menoleh pada asal suara, dan mendapati keluarga dan teman-teman dekatku berdiri dalam satu deretan, sambil mengangkat spanduk dan papan-papan kecil bertuliskan namaku dan tulisan “welcome home”. Apaan ini?

“Kalian terlalu berlebihan,” kataku sambil berjalan ke arah mereka. Tanganku menggenggam erat tangan yang baru saja memberiku kejutan manis tadi. Genggaman yang ditunda selama dua tahun. Genggaman yang kunantikan selama dua tahun.

“Berlebihan apanya? Ini kami lagi jemput artis dari Korea!” sahut adikku dengan senyuman nakal.

Aku ikut tersenyum. Untuk kali ini, aku tidak akan memberikan komentar apa-apa. Suasana seperti ini sudah terlalu kurindukan. Yang dapat kulakukan hanya menatap mereka satu per satu dan tersenyum, lalu kutatap lagi, dan tersenyum lagi. Inikah yang dinamakan bahagia?

“Sudah kutepati janjiku,” katanya tiba-tiba saat rombongan yang keributannya hampir menarik perhatian sekuriti ini meninggalkan bandara. Tangannya masih dalam genggamanku. Langkah kami santai. Dalam hati, aku memohon agar waktu berjalan lebih lambat lagi. Adegan seperti ini hanya akan muncul dalam mimpi dan lamunanku selama dua tahun yang baru kulewati.

Aku mengerutkan dahi tidak mengerti. Melihat reaksiku, dia berjinjit untuk mencapai telingaku, dan aku secara otomatis menunduk sedikit untuk memudahkannya. Ah, chemistry di antara kami yang begitu kurindukan tidak hilang sedikitpun. Senangnya.

Gidarilge,”[1] bisiknya.

Aku hanya tertegun menatap gadis yang tersenyum manis itu, yang kemudian dengan lincah berlari mengejar rombongan yang sedang berjalan menuju tempat parkir. Sesekali dia membalikkan badan untuk melambai padaku, mengisyaratkan agar aku mempercepat langkahku.

“Aku pulang,” gumamku sambil membetulkan letak kacamata. “Maaf telah membuatmu menunggu,” lanjutku lagi dengan pandangan yang masih terpaku padanya.

Saat aku akan melangkah, pundakku tiba-tiba diguncang. Rasa kaget ini hampir saja membuatku meloncat di tempat.

“Sudah sampai,” kata seorang laki-laki di sampingku.

Perlahan, aku membuka mata, lalu mengangguk pelan sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Ternyata hanya mimpi. Pesawat yang kutumpangi baru saja mendarat di Korea Selatan, tempat yang akan menjadi tempat tinggalku untuk dua tahun ke depan. Mimpi yang indah. Aku hanya bisa berharap, semoga mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Tetapi, salah satu sudut pikiranku sangat meragukan hal ini. Menunggu selama dua tahun. Siapa yang rela?

Aku membetulkan letak headphone, yang sejak tadi tidak kuperhatikan lagu apa yang diputar darinya, kemudian aku mengambil barang-barangku, dan melangkah mengikuti barisan keluar dari pesawat. Benakku masih memikirkan mimpi tadi.

Udara dingin yang sama sekali tidak ramah menyambut kedatanganku. Dengan refleks, aku merapatkan jaket yang kukenakan. Jaket yang dia berikan saat mengantarku ke bandara tadi. Hadiah untuk dua tahun ini, katanya. Aku menyengir saat mengingat kembali adegan tadi. Jadi maksudnya, selama dua tahun ini tidak akan ada hadiah lain lagi?

Aku memasukkan tangan kanan ke dalam saku jaket. Ternyata udara musim dingin itu seperti ini. Begitu menusuk tulang. Dan yang lebih menyakitkan lagi, aku sendirian di negara asing. Tiba-tiba rasa khawatirku tentang apa yang akan terjadi setelah dua tahun kembali menghantui pikiranku. Bagaimana kalau mimpi benar-benar hanya mimpi belaka? Di saat aku pulang setelah menyelesaikan studiku, apakah kami masih bisa seperti dulu? Apakah dia akan menunggu?

Aku hanya bisa menyesali keraguanku untuk bertanya padanya. Hingga saat aku menghilang dari pandangannya tadi, masih belum kukatakan bahwa aku berharap dia menungguku. Tetapi, permintaan seperti ini, sangat egois, bukan?

Pikiranku kembali tenggelam dalam perdebatan yang terjadi setiap hari selama beberapa hari ini. Perdebatan yang tiada akhir. Hingga tanganku merasakan ada sesuatu di dalam saku yang seharusnya kosong itu. Kwitansi pembelian jaket ini, kah? Sebuah ide aneh muncul dalam benakku. Tetapi, sesuai sekali dengan sifatnya yang suka memberi kejutan. Otaknya merupakan sarang dari ribuan ide yang tidak dapat dipikirkan orang lain.

Dengan tangan yang mulai menggigil, aku keluarkan selembar kertas putih yang dilipat empat. Ini pasti tulisannya, pikirku sambil membuka lipatannya, saat aku menyadari coretan kaku itu adalah tulisan dalam bahasa Korea. Dia tidak pernah mau belajar bahasa Korea. Nggak minat, katanya.

Hatiku berdetak lebih kuat sejenak ketika deretan tulisan itu ditangkap indera penglihatanku.
기다릴게[2]
Darah dalam tubuhku seakan mengalir lebih cepat. Badan yang tadinya hampir menggigil kini terasa begitu hangat, dari lapisan kulit paling luar hingga ke organ-organ dalam tubuh. Pernahkah kau merasakan seperti ini? Seperti akan demam tinggi dan harus segera berobat ke dokter.

Tiba-tiba, mataku terasa basah. Ah, tidak boleh. Jangan sampai menangis di depan orang seramai ini. Aku terus mengerjapkan dan membesarkan mataku, berusaha menghilangkan air mata yang bisa terjatuh setiap saat.

Oh baby say goodbye, for a short while goodbye.
The talk about goodbye, I’ll put it aside for a short while.
I’ll go back to the place
When I once was

When I open that door and take one step
so that I can stand in front of you who i missed

My heart that loved you
my eyes that looked at you
I’ll wait.

Langkahku terhenti saat lirik dari lagu yang sedang diputar, yang tadinya hanya terdengar samar, tiba-tiba menjadi begitu jelas. Butiran bening dalam mataku bergulir begitu saja, membasahi kedua pipiku yang masih terasa hangat.

Sebuah senyuman terbentuk dengan sendirinya di wajahku. Benar-benar hadiah terbaik untuk dua tahun ini. Hadiah yang dapat menghangatkan badanku, sedingin apapun udara di luar. Hadiah yang dapat menghangatkan pikiranku, sedingin apapun dunia luar.

Aku menengadahkan kepala dan menatap langit.

Hei, apakah kau juga sedang melihat langit ini? Terima kasih. Meskipun kesediaanmu untuk menungguku hanya dapat kubalas dengan mengizinkanmu untuk menunggu, kumohon, tunggulah. Nantikanlah kepulanganku. Penantianmu adalah dorongan terkuat bagiku untuk terus maju. Tetapi, tenanglah. Aku akan segera pulang. Tenanglah, sebab kau tidak perlu menunggu lama. Dua tahun, tidak berarti apa-apa bagi kita yang akan bersama selamanya.

after time passed by when I meet you
I will tell you that I missed you


[1] I’ll wait
[2] Dibaca: Gidarilge

=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: A Short Journey By Super Junior
Post #9 of #30HariLagukuBercerita

Sunday 23 September 2012

Graduation "Thanks to" Part 1: Lecturers

I couldn't have graduated if it was not for the help from these whom I am going to list...

My thanks to..

To My Lecturers, dosen-dosen STTI

Thank you to my lecturers.. Dosen-dosen STTI yang keren-keren. Bu Heti, Bu Fitri, Bu Liza, Bu Ela, Bu Dwi, Bu Siti, Pak Icak, Pak Andi, Pak Toha, dan semua dosen lainnya, pernah mengajar saya, baik yang menyebalkan atau tidak. Thank you for teaching me, for giving me all those knowledge, pdf and ppt files, assignments, stress, and everything else.

Khususnya kepada dosen-dosen yang sudah menemani saya, mengobrol dengan saya tentang ini itu, I am going to miss our time together.

Bu Heti, dosen pertama saya, sebab kelas pertama saya adalah kelas algoritma Ibu. Ibu juga dosen pembimbing KP saya, dosen penguji prasidang skripsi saya, dosen pertama yang membuat saya merasa "Ah, I enjoy coming to campus just to chat with this lecturer." Terima kasih banyak, bu... I'll miss you...

Lalu, bu Fitri.. Dosen, yang menurut saya, paling keren di kampus. No offense untuk dosen lainnya. BUT! Ini dosen, sudahlah ada playlist Super Junior, dengar lagu-lagu BoA, update status FB dengan bahasa Jepang dan Korea, and.. Guess what? Sensei yang satu ini punya KAKAO TALK! AND! You know apa statusnya di KaTalk? "Sexy, Free & Single"!!! She's just plain cool! OK, mungkin persepsi saya tentang kerennya dosen satu ini sangat terpengaruh oleh SJ. But, hey, ini satu-satunya dosen yang saya panggil "Ibu", "Sensei", dan "Seonsaeng-nim".. Percakapan, sms, chatting di antara kami itu campur aduk bahasa Indonesia, Inggris, Korea, dan Jepang. Keren, kan? Dosen yang sms saya setelah prosesi wisuda, untuk mengucapkan selamat dan "don't forget me", serta pemberian semangat "ganbatte kudasai" dan "hwaiting" dengan huruf g yang berderet-deret. Saranghamnida, seonsaeng-nim!

Bu Ela, dosen sidang KP saya yang juga bertanggung jawab atas perpustakaan kampus. "Bu, nanti saya datang ke perpus lagi, ya.." Itu kalimat yang tiap kali saya ucapkan saat meninggalkan perpus, baik karena mau pulang atau karena ada mata kuliah. Waktu wisuda juga, ibu tidak lupa mengucapkan "Nanti ke perpus lagi ya.." Ibu, do you know how much that means to me? I'll miss you too...

Bu Liza, dosen pembimbing skripsi saya, yang bersedia menunggu, membimbing saya sampai lewat jam pulangnya. Dosen yang langsung SMS dan Whatsapp saya begitu ada berita apa-apa tentang sidang dan lainnya. Yes, that's right! Whatsapp! Dosen saya yang satu ini pake Whatsapp! Mantap, kan? Dosen yang selalu bilang, "Ah, kan Lidya. Bisa dipercaya, dong." Terima kasih atas dorongan semangatnya, bu!

Bu Dwi, dosen yang selalu selalu selalu tersenyum, dosen yang paling mudah tertawa.. Dosen yang selalu membantu saya, tanpa saya meminta.. benar-benar selalu loh.. Dosen yang ga pernah marah walaupun saya ganggu.. Iya, satu-satunya dosen yang saya ganggu saat sedang menunggu jemputan atau nggak ada kerjaan.. Nongol di ruangannya tiba-tiba, lalu duduk dan nggak pergi-pergi.. Bu, I'll miss our time together.. titip salam untuk kura-kura imut itu, ya, bu~~

Thank you to all my lecturers, each and everyone of you.. Thank you so very much! Terima kasih untuk semua dosen-dosen saya!

We'll Meet Again


Hai, lama sekali tidak berjumpa denganmu. Sudah berapa tahun sejak kita berpisah? Tujuh? Atau delapan? Waktu berputar demikian cepat, melesat lewat begitu saja. Dan orang yang selalu membuatmu khawatir waktu itu, yang selalu berusaha membuatmu tersenyum itu sekarang sudah sukses. Apakah kamu ikut bangga atas prestasiku ini?

Ujung-ujungnya, aku mewariskan usaha keluarga juga, dan lebih cepat dari yang kukira. Hal ini bahkan tidak pernah kubayangkan. Murid yang lebih memilih untuk dihukum daripada mengerjakan tugas. Murid yang dengan senang hati keluar dari kelas jika diusir oleh guru. Murid seperti ini sudah lulus dari universitas ternama dan sekarang menjadi pengusaha papan atas yang jarang sekali pulang ke kampung halamannya ini. Apakah kau masih ingat saat aku menceritakan semua kekesalanku dan ketidakinginanku untuk melanjutkan usaha keluarga? Aku masih ingat, kau hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala.

Kau tahu? Aku sering memikirkanmu setelah kita berpisah. Hubungan kita saat itu, aku rasa, dapat dikatakan berpacaran? Meski tidak ada dari kita berdua yang mengakuinya, tetapi perasaanku tidak salah, kan? Kalau tidak, mengapa kau bersedia memberikan morning call setiap hari hanya karena takut aku akan terlambat ke sekolah? Memperhatikan apakah waktu istirahatku cukup? Selalu mengingatkanku tugas-tugas yang harus kukerjakan?

When we were young we did not realise our youth
When we loved we did not realise our love for each other
But now returning to the past
Back then we were that young, and loved that way

Masa-masa muda yang indah, bukan? Saat itu, kau bahagia, kan?

Kau masih ingat saat malam perpisahan? Aku memintamu untuk menghadiri acara itu bersamaku, di hadapan teman-teman yang lain. Kau langsung mengangguk, dengan senyuman lebar di wajahmu. Yang lainnya sudah terbiasa, bagi mereka, kita hanya sahabat karib yang melawan pendapat umum bahwa tidak ada cowok dan cewek yang dapat menjadi teman baik. Tetapi, sebenarnya, dalam hati, kau benar-benar menerima ajakanku dengan senang hati. Betul, kan?

Most of the memories have gone with the tear-filled river of time
Slowly flowing away
But now returning to the past
The youth and love of the past was so precious

Saat kau, bersama yang lain, mengantarku ke bandara, kata-kata terakhir yang kukatakan padamu, apakah kau masih ingat? Bahwa aku masih menunggu jawabanmu. Iya, sudah berkali-kali aku menyatakan perasaanku. Dan setiap kali, kau menolakku. Tetapi, karena aku yang tidak putus asa itulah yang membuat hari-hari itu demikian indah, bukan?

Saat itu aku berpikir, kau pasti akan menerimaku jika aku berhasil meraih sesuatu yang dapat kaubanggakan. Karena aku yang muda bukanlah seseorang yang mempunyai prestasi apapun, itulah alasan kau menolakku. Alasan yang kupikir, yang kutebak sendiri dalam hatiku. Penyesalanku yang paling besar adalah tidak menanyakan mengapa, mengapa kau menolakku. Sebab aku kira, saat kita bertemu lagi, kau pasti akan dengan senang melihat perubahan yang terjadi pada diriku.


Seperti yang kau katakan, kita bertemu lagi, setelah aku berjuang bertahun-tahun. Aku di sini dan kau di hadapanku dengan senyumanmu itu. Tetapi, sayangnya, senyuman manis itu hanyalah sebuah foto di batu nisan tempat kau beristirahat untuk selamanya.

Selama hari-hari itu, penyakit ini telah membuatmu menderita, bukan? Kau selalu bertahan, kau begitu tegar. Kau telah berusaha sebaik mungkin untuk berdiri di hadapan kita dengan senyuman hangatmu. Hingga akhirnya, kau pergi dari dunia ini. Mengapa kau tidak bercerita sama sekali?

Hei, kau tahu? Kata-katamu di bandara masih terngiang di telingaku, setelah sekian lama. Dan aku rasa, kata-kata itu akan terus melekat di hatiku. Sampai jumpa di pertemuan kita selanjutnya.

Thank you for everything. Someday, we’ll meet again.
Someday, we will meet again
Even though we don’t know where we will go
Someday, we will meet again
With already separated identities…


=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: Someday By Super Junior
Post #8 of #30HariLagukuBercerita

Thursday 20 September 2012

Promise


Anda tidak dapat membayangkan betapa beratnya perasaanku saat ini, saat aku berjalan menyusuri koridor menuju ke ruangan itu. Iya, kembali ke ruangan itu lagi setelah jalan pagi yang sama sekali tidak berhasil mengubah suasana hatiku. Cuaca di luar yang cerah, burung-burung yang berkicau, dan angin sepoi-sepoi yang biasanya menyejukkan sama sekali tidak berpengaruh pada hujan badai di dalam sini.

Rencanaku untuk memperbaiki suasana hati sebelum operasi sore nanti gagal total. Belum lagi keluargaku yang sejak tadi keluar, hingga sekarang belum tampak juga. Akhirnya, di hari yang penting ini, aku ditinggal sendiri. Sendirian menghitung mundur waktu yang tersisa, di ruangan putih dengan bau obat yang menyesakkan itu. Tidak ada orang yang menemani, tanpa keluarga, tanpa teman, dan tanpa dia…

Terakhir kali aku melihatnya adalah kemarin sore. Seperti biasa, dia datang menjengukku begitu selesai kerja; rutinitasnya selama satu bulan belakangan ini. Tetapi kemarin, dia pergi begitu saja setelah membicarakan sesuatu dengan orang tuaku di luar ruangan. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bincangkan, hanya dapat menebak berdasarkan gerakan bibir mereka dan ekspresi, tetapi tanpa membawa hasil apapun. Yang kutahu, hanyalah raut wajah orang tuaku yang sedih dan kecewa setelah dia pergi meninggalkan mereka.

 “Ada apa?” tanyaku saat mereka memasuki ruangan.

“Yola, kamu harus tegar untuk operasi besok, ya. Apapun yang terjadi, orang tua dan keluargamu ini akan selalu ada di sisimu.”

Jawaban dari mereka membuatku tertegun. Mungkin karena terlalu lama menginap di rumah sakit, aku menjadi terbiasa menegaskan maksud dari setiap kata dari kalimat yang diucapkan orang lain.

Apa maksud dari orang tua dan keluarga? Bagaimana dengan dia? Dia yang selalu mengulangi kata-kata penuh harapan padaku. Dia yang selalu mengatakan bahwa akan senantiasa berada di sini untukku. Dia yang selalu berjanji bahwa dia akan menemaniku melewati segala rintangan dalam hidup. Dia sudah pergi, kah?

Aku menertawakan diriku sendiri semalaman, diiringi air mata yang terus mengalir tanpa bisa kutampung. Bukankah ini yang selalu dikatakan orang lain? Kamu akan melihat siapa yang benar-benar mengasihimu di saat kamu memerlukan mereka. Orang-orang di sekitarku sering mengingatkanku agar lebih waspada, bahwa dia mungkin mendekatiku hanya karena latar belakang keluargaku yang lebih sepadan dengannya, bahwa hubungan kami hingga saat ini berjalan dengan terlalu lancar, bahwa kami tidak akan dapat bertahan jika dihadapi dengan cobaan.

Ternyata benar. Aku rasa, dia hanya menunggu waktu. Mungkin, saat aku divonis hanya tersisa beberapa bulan untuk hidup, dia sudah ingin melepaskan diri dari hubungan yang tidak akan berakhir bahagia ini. Kehidupannya dapat dikatakan sempurna, dan seorang perfeksionis seperti dia pasti tidak akan mengizinkan hal seperti ini menodai kehidupannya itu.

Bodoh sekali aku mempercayai setiap janjinya. Ah, biarkan saja. Lagipula setelah hari ini, semuanya akan berakhir. Menurut dokter, kemungkinan berhasilnya operasi hari ini hanya 40 persen. Kalau berhasil, baguslah. Kalau tidak, sudahlah. Aku hanya ingin meminta maaf pada orang tuaku karena telah menyusahkan mereka. Begitu saja.

Tetapi, kata operasi memang menakutkan. Tanganku gemetar dengan kuat saat aku membuka pintu kamar dari ruangan yang menyesakkan itu. Tanganku tidak kuat, tampaknya aku perlu bantuan perawat yang lewat untuk…

Lho, pintunya terbuka sendiri?

Dengan perasaan was-was, aku memasuki kamar. Seisi ruangan gelap, tidak seperti biasanya. Dan aku masih ingat, lampu tidak kumatikan saat aku keluar tadi. Tetapi, ini…

SURPRISE!” Sahutan kata ini memenuhi ruangan, seseorang memelukku dari belakang, dan lampu menyala. Ruangan ini kembali terang. Dan di atas jendela, tepat di hadapanku, tergantung sederet kalimat “We’ll wait for you. Get well soon!

Aku membalikkan tubuhku. Ah, ternyata adikku. Tentu saja adikku. Siapa lagi yang kuharapkan? Aku melihat sekeliling ruangan. Keluarga dan teman-teman dekatku melontarkan senyuman manis mereka. Ternyata keluargaku merencanakan ini sejak awal. Aku salah, aku tidak sendirian.

“Terima kasih,” kataku sambil duduk di atas ranjang. “Terima kasih juga sudah susah payah merencanakan kejutan ini dan merahasiakannya dariku. Sejak kapan kalian membuat ini? Memangnya ada waktu?”

Pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan pada mereka yang hadir sambil kutatap satu per satu. Ya, tidak ada dia.

“Sejak semalam. Tetapi bukan kami yang rencanakan,” jawab adikku.

Keningku berkerut. “Lalu…”

Belum sempat kuselesaikan kalimatku, pintu terbuka lagi. Dan dia masuk, dengan seikat bunga di tangan.

Aku dapat merasakan wajahku memanas, mulutku terbuka dengan sendirinya, dan sekujur tubuhku menegang saat dia mendekat.

“Apa…”

Lagi-lagi aku tidak dapat menyelesaikan kalimatku. Dia meletakkan jari telunjuknya di depan bibirku.

Promises are made to be kept, because they should be. Itu kalimat kesukaanmu, bukan? Janji harus ditepati.”

Meski aku tidak dapat menebak tujuan dari kalimat yang diucapkannya ini, aku tetap mengangguk. Memang benar, ini kalimat yang paling sering kukatakan.

“Jadi, aku ke sini untuk memenuhi janjiku. Untuk tetap berada di sisimu, menemanimu menghadapi segala cobaan, menjadi selimutmu saat kamu kedinginan, menjadi bantalmu saat kamu letih.” Dia tersenyum. Senyuman hangat yang mampu mencairkan apapun. “Tetapi, aku tidak mau melakukan itu dengan begitu saja. Semua itu akan kulakukan dengan suka rela asalkan kamu memberiku sebuah status. Boyfriend, pacar, atau sejenisnya itu tidak ada maknanya. Aku ingin status yang jelas," lanjutnya sambil menatap lurus padaku.

Through rain and snow I'll cherish you (I do)
I'll take care of you (My love)

Dia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan tegas, sembari mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku tertegun saat melihat benda bersinar yang terpajang dalam kotak kecil itu.

“Kamu yakin?” tanyaku. “Aku tidak tahu kapan aku akan meninggalkan dunia ini. Operasi hari ini juga, kemungkinan gagalnya lebih tinggi. Lagipula, kalaupun berhasil, aku mungkin masih harus terus datang berobat ke rumah sakit. Dan juga…”

Sekali lagi kalimatku terpotong. Dia mendecak lidahnya sambil menggeleng.

Even though we'll age, I want to live each day smiling
Would you marry me?
Will you be my everything?
Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)

“Kamu pikir terlalu jauh, khawatir terlalu banyak, dan tingkat kepercayaan dirimu turun terlalu drastis. Pantas saja kamu jatuh sakit seperti ini,” katanya sambil terus tersenyum.

Aku hanya terdiam, melongo melihat laki-laki di hadapanku itu. Dia masih bisa bercanda di situasi seperti ini. Yang benar saja. Tetapi, memang begitulah orangnya. Ini juga salah satu alasan aku begitu terpesona, begitu menikmati saat-saat yang kami lewati bersama.

“Apapun yang terjadi,” lanjutnya. “Aku akan tetap ada di sini. Yang perlu kamu lakukan hanya mengangguk kepalamu sekarang.”

All I have to give you is my love
That's all I've got to offer

Perlahan, aku lakukan apa yang dia katakan. Sebuah anggukan kepala yang membuat senyumannya mengembang semakin lebar. Semua yang hadir dalam ruangan bersorak, bertepuk tangan, dan kurasa, beberapa dari mereka menangis.

Sebenarnya, aku dapat menahan air mataku. Tetapi saat dia mendekat dan mengenakan cincin itu di jariku, kata-kata yang dibisikkannya membuat butiran-butiran bening itu terjatuh begitu saja.

“Cincin ini bukan cincin biasa. It’s a promise. Jadi, kamu harus melewati operasi hari ini. Itu janjimu padaku. Aku sudah berjanji pada Mia bahwa aku akan membawamu ke salon fotonya minggu depan. Jangan membuat aku tidak tepat janji.”

Dia menjauhkan kepalanya, lalu mengangkat jari kelingkingnya ke hadapanku.

Come back safely. Promise?

Dengan senyuman bahagia, aku mengangguk lagi sambil mengaitkan jariku pada jarinya.

Will you promise me just one thing?
No matter what happens
We'll always love each other... That's all
Will you marry me?
I do

=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: Marry U By Super Junior
Post #7 of #30HariLagukuBercerita 
=============
Marry U - Super Junior


(Rap) Love~ Oh baby my girl~
You're my everything, your beauty blinds me

My bride, my present from the heavens above
Are you happy? There's tears flowing from your eyes

Until the day your black hair turns grey
I promise to love you forever

I want to tell you every single day that "I love you"
Would you marry me?
I want to live loving you and cherishing you

I want to put you to sleep in my arms every night
Would you marry me?
Will you give my heart this permission?

*I'll stay next to you for the rest of my life (I do)
I love you (I do)

Through rain and snow I'll cherish you (I do)
I'll take care of you (My love)

(Rap) You in a white dress, me in a tuxedo
We walk step in step underneath the moon

I swear, I hate lies, I hate distrust
My princess, my love, stay with me
[ Lyrics from: http://www.lyricsmode.com/lyrics/s/super_junior/marry_u_english.html ]
Even though we'll age, I want to live each day smiling
Would you marry me?
Will you be my everything?

**Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)

All the many days we'll spend together (I do)
I'm going to be thankful each and every day (My Love)

I prepared this for you since long ago
Please take this shiny ring in my hand

I'll remember this promise we shared with the same heart
Would you marry me?

*I'll stay next to you for the rest of my life (I do)
I love you (I do)

Through rain and snow I'll cherish you (I do)
I'll take care of you (My love)

**Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)

All the many days we'll spend together (I do)

(Rap) All I have to give you is my love
That's all I've got to offer

I know I lack many things but not my love
I'll look out and take care of you

Will you promise me just one thing?
No matter what happens

We'll always love each other... That's all
Will you marry me?
I do

Lyrics credit: lyricsmode.com

Monday 17 September 2012

To Be Continued?


Aku bergegas menuju ruang auditorium di gedung E yang jaraknya puluhan meter dari kantin tempatku berada. Sebagai mahasiswi biasa, alias yang tidak pernah aktif dalam acara apapun di kampus, tentu saja aku tidak pernah mengecek apakah kampus akan mengadakan acara. Alhasil, kehadiran mereka di kampuspun tidak kuketahui.
Mereka, adalah alumni yang lulus tahun lalu. Bedanya, mereka juga adalah band pertama dari kampus yang berhasil membawa pulang piala-piala dalam berbagai lomba selama mereka menjadi mahasiswa di sini. Spesialnya, salah satu anggota mereka, leader dari band itu lebih tepatnya, adalah kakak kelasku sejak SMA dulu. Orang yang telah lama kuperhatikan dari jauh, sebab hanya itu yang dapat kulakukan.

Aku bukan orang yang menonjol di kampus. Yang kulakukan hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Bersosialisasi juga tidak termasuk dalam daftar rutinitasku. Jadi, dapat dikatakan aku hanya salah satu dari sekian banyak mahasiswa di kampus. Demikian tingkat keberadaanku di kampus.

Semua ini membuat pikiran “hanya bisa melihatnya dari jauh” berakar dalam benakku. Dia tidak akan, dan tidak perlu tahu bahwa aku merupakan salah satu dari mereka yang berdiri di bawah panggung, melihatnya dengan jantung berdebar-debar. Bagiku, mendukungnya seperti ini saja sudah cukup. Dan dia juga tidak perlu tahu, bahwa aku mendaftarkan diri dan berusaha keras untuk bisa masuk ke universitas ini juga karena dia. Meskipun akhirnya, sampai saat dia diwisuda juga aku belum pernah mengucapkan sepatah katapun padanya. Dengan demikian, cerita di antara aku dan dia sudah dicap ‘the end’ sebelum bab pertama sempat ditulis.

Perlahan, aku mendorong pintu auditorium yang tertutup rapat. Pandanganku langsung tertuju ke arah panggung. Ah, dia ada di sana, duduk di tepi sambil bercanda dengan mereka yang mengerumuninya di depan panggung.

Aku telat. Salahku sendiri tidak meninggikan antenaku hingga terlambat menerima informasi bahwa mereka akan tampil di acara yang diadakan kampus Sabtu ini. Dan ternyata mereka sudah melakukan gladi sejak beberapa hari yang lalu. Jadi, dapat dikatakan bahwa aku cukup beruntung mereka melakukan gladi sekali lagi hari ini. Sudahlah, paling tidak, melihatnya seperti ini bisa dimasukkan ke dalam prolog cerita kami, bukan?

Dia terus mengobrol dengan senyuman di wajahnya. Senyuman yang dilihat dari jarak demikian jauh saja bisa membuat jantungku berdebar tidak karuan. Sekali-kali dia tertawa lepas. Suara tawanya menggelitik sarafku, membuatku ikut tersenyum-senyum. Ah, dapat kurasakan mukaku memanas. Akhirnya, aku bisa berjumpa lagi dengannya. Dalam hati, aku merasa bersyukur memilih untuk melanjutkan studiku di kampus ini, yang berarti menolak beasiswa untuk kuliah di kampus lain. Paling tidak, aku dapat melihatnya seperti ini.

“Rian!” panggil salah satu anggota band yang sejak tadi berdiri di atas panggung.

Mendengar namanya dipanggil saja dapat membangunkan seluruh inderaku. Ya, aku sangat sensitif pada namanya. Setiap kali seseorang menyebut nama yang mirip sekalipun, baik “Lian”, “Tian, ataupun “Dian”, aku pasti refleks menoleh ke arah sumber suara. Tetapi tidak kali ini. Mataku tetap terpaku pada sosok yang menoleh ke belakang untuk melihat temannya. Aku seakan terhipnotis olehnya.

Wajahnya jika dilihat dari sebelah kiri ternyata begitu menarik perhatian. Aku mulai terjerumus lagi dalam lubang imajinasiku sebelum orang yang kutatap berpaling dan melihat ke arahku.

Tunggu dulu! Dia melihat ke arahku? Dia melihat ke arahku!

Spontan, aku menunduk kepala dan menatap lantai cokelat yang tiba-tiba menjadi begitu menarik. Tidak, aku tidak akan menaikkan kepalaku hingga aku seratus persen yakin dia tidak melihat ke sini lagi. Meskipun dapat kupastikan bahwa yang dilihatnya bukan diriku, bisa saja orang di sampingku, atau pintu di belakang sana, atau kursi kosong, atau apa saja. Pokoknya bukan aku. Semoga saja bukan aku yang memberikan reaksi memalukan ini.

Benar-benar tiada obat bagi diriku ini. Mengapa aku tidak melambaikan tanganku? Atau meneriakkan namanya? Atau paling tidak tersenyum saja padanya? Mengapa aku menundukkan kepalaku secepat itu? Refleksiku tidak pernah secepat ini kalau terjadi hal-hal yang lain. Bodoh.

Sesaat kemudian, terdengar bunyi ketukan drum dan suara gitar dari speaker. Lalu, tentu saja, sebagai lead vocal, suaranya mulai memenuhi ruangan ini.
You're insecure,
Don't know what for,
You're turning heads when you walk through the door,
Don't need make-up,
To cover up,
Being the way that you are is enough,

Akhirnya aku mengangkat kepalaku dan membiarkan indera penglihatan dan pendengaranku menikmati momen ini. Ternyata lagu ini yang dibawakan mereka saat tampil nanti, di acara yang tidak dapat kuhadiri itu. Aku baru mendapat informasi tentang acara itu tadi pagi, dan tentu saja, tiket masuk sudah terjual habis. Yang dapat kulakukan hanya mengutuki diriku sendiri, sebelum mengetahui mereka akan latihan lagi hari ini.
Everyone else in the room can see it,
Everyone else but you,

Aku berlari maju untuk bergabung dengan rombongan yang memenuhi bagian depan panggung. Tanganku ikut berayun di udara, senyumanku mengembang dengan sendirinya, meskipun debaran di jantungku hanya mereda sedikit. Dia tampil dengan begitu menawan, seperti biasa. Dia begitu menikmati dirinya di atas panggung. Bisa melihat dirinya seperti ini saja sudah cukup. Tetapi, bagaimana rasanya kalau bisa lebih dekat lagi?
Baby you light up my world like nobody else,
The way that you flip your hair gets me overwhelmed,
But when you smile at the ground it ain't hard to tell,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,

Aku masih berkeluyuran di dalam auditorium setelah gladi selesai dan semua orang meninggalkan ruangan. Perlahan, aku menaiki tangga di samping. Langkahku mengantarku ke atas panggung, dan tanpa kusadari, aku duduk tepat di tempat yang dia duduk tadi, saat aku memasuki ruangan.

Ah, ternyata ini rasanya duduk di sini. Aku melihat ke sekeliling ruangan dan berusaha membayangkan keadaan tadi, saat orang-orang berdiri di sekitar panggung. Aku seakan dapat melihat apa yang dilihatnya, merasakan apa yang dapat dirasakannya. Aku memejamkan mata, menikmati detik-detik ini, sebab aku tidak tahu kapan bisa bertemu dengannya lagi.

“Kamu sedang apa?”

Sebuah suara yang muncul tiba-tiba membuat mataku terbelalak lebar. Suara ini. Aku tahu suara ini. Tetapi, apakah iya? Bukankah dia sudah pulang?

“Apa yang sedang kamu lakukan di sana?” tanya suara itu lagi.

Jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Sekarang aku yakin siapa pemilik suara ini! Dia!

Suara dia begitu dekat. Dia di belakangku? Ya ampun. Apa yang harus kulakukan? Debaran jantungku sudah tidak lagi dapat kukendalikan. Mukaku mulai memanas. Dan dalam sekejap saja, seluruh tubuhku juga terasa panas.

“Mengapa belum pulang?” tanyanya sambil duduk di sampingku.

Napasku tercekat. Aku bahkan tidak dapat mengerjapkan mataku. Aku ingin sekali menoleh dan tersenyum padanya, tetapi tidak bisa. Seluruh tubuhku menegang!

“Kamu…”

Dia mulai bersuara lagi. Dan kali ini aku dapat merasakan tatapannya. Ah, bagaimana ini?

“Kamu bisa bicara, kan?”

Seketika, suasana berubah 180 derajat. Keteganganku hilang lenyap dalam hitungan sepersekian detik. Yang benar saja! Pertanyaan seperti apa ini?

“Tentu saja!” jawabku tanpa pikir panjang. Aku menoleh dan sepasang mata hitamnya yang begitu memesona sedang melihat ke arahku. Sebuah senyuman terbentuk di wajahnya.

Ah, senyuman itu. Aku refleks memalingkan wajahku lagi. Dari dulu, aku memang tidak dapat memandangnya seperti ini, tepat pada matanya. Setiap kali dia melihatku, aku pasti mengalihkan pandanganku ke tempat lain.

Tunggu. Setiap kali? Rasanya ada yang salah dengan kalimat terakhir yang muncul dalam benakku tadi. Sesering itukah dia melihat ke arahku?
So c-come on,
You got it wrong,
To prove I'm right,
I put it in a song,
I don't know why,
You're being shy,
And turn away when I look into your eye eye eyes
.

Dia mendecak lidah. “Kamu masih ingat kamu pernah membawakan seseorang sebuah tas gitar waktu SMP dulu?”

Aku mengernyit. Sepertinya pernah, sepertinya tidak. Mana mungkin aku ingat? Kejadian tahun lalu saja belum tentu masih berbekas dalam otakku. Mengapa dia bertanya begitu?

Dia menghela napas. “Atau kamu masih ingat kamu pernah meminjamkan seseorang payung?”

Kerutan di keningku semakin dalam. Aku memang pernah meminjamkan payung pada orang lain, dan itu bukan hanya seseorang. Banyak! Dari sekian banyak itu, hampir tidak ada yang mengembalikan payungku!

Sekali lagi dia menghela napas. Kali ini, terdengar agak kesal. “Kamu Erlin atau bukan, sih?”

Aku tertegun. Bagaimana dia tahu namaku? Tahu dari mana?

“Ah, ya atau bukan. Nggak perlu jawab. Angguk saja kalau benar.” Suaranya terdengar pasrah.

Dengan susah payah, aku menganggukkan kepalaku yang mulai menegang lagi. Sekujur tubuh ini juga mulai membeku. Payah aku.

“Erlin yang pernah memainkan piano saat perpisahan SMP dan SMA dulu?” tanyanya lagi.

Ah, dia sudah memerhatikanku sejak SMP! Tunggu. SMP? Memangnya dia kakak kelasku saat SMP juga?

“Ya atau bukan?” desaknya.

Aku mengangguk kaku. Dalam benakku muncul terlalu banyak pertanyaan untuk diproses satu per satu.

“Kalau begitu, aku benar,” katanya. Suaranya terdengar riang. “Untung aku menyuruh mereka untuk latihan lagi hari ini. Kamu nggak pernah datang dari kemarin, sih,” lanjutnya.

Hah? Maksudnya? Jadi, dia menanti kehadiranku? Karena itu dia datang lagi ke kampus hari ini? Benarkah kesimpulanku?

“Ini untukmu,” katanya sambil menyodorkan selembar kertas.

Ini… Tiket?

“Datang Sabtu ini, ya,” katanya sebelum pergi meninggalkanku sendiri. Mungkin dia sempat melambai. Mungkin dia berdiri sebentar untuk menunggu reaksi dariku. Entahlah.

Aku tidak memberi jawaban. Seluruh perhatianku tertuju pada tiket yang dia letakkan di sampingku. Lama sekali aku menatap tiket itu. Apakah ini berarti cerita kita dapat dilabel ‘to be continued’?

If only you saw what I can see,
You'll understand why I want you so desperately,
Right now I'm looking at you and I can't believe,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
Oh oh,
That's what makes you beautiful


=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: What Makes You Beautiful By One Direction
Post #6 of #30HariLagukuBercerita