Sunday 17 June 2012

(Un)Scripted Scene

“Kau tidak capek seperti ini terus?”

Keningmu berkerut di antara topi dan kacamata hitammu. Pertanyaan yang kulontarkan berhasil menarik perhatianmu dari soda yang tengah kau nikmati. Beberapa pengunjung café berdesas-desus sambil sesekali menunjuk ke arah kami.

Kau menatap lurus padaku dengan pandangan penuh tanda tanya, kemudian tersenyum dan menggeleng pelan. Syal putih pemberianku yang melingkar di lehermu begitu cocok dengan killer smile itu.

Senyuman tulus dan polos, seperti putihnya salju di musim dingin. Senyuman hangat yang menjadi sumber energiku sejak sore dua tahun yang lalu, saat aku menjawab pertanyaanmu dengan anggukan kepala, dan kau tersenyum karena perasaanmu diterima.

“Aku capek,” kataku dengan nada tegas. Sebuah pernyataan yang akan membawa pertemuan ini menuju akhir yang menyedihkan, persis seperti naskahku. Mengingat hal ini saja membuat hatiku perih.

“Kalau capek, istirahat saja,” tanggapmu santai, masih dengan senyumanmu itu.

Aku mendecak lidah. “Kau tahu apa maksudku.” Kutatap kedua bola matamu dengan raut wajah serius. “Selalu harus bertemu dalam keadaan seperti ini. Kalau kau tidak capek, aku capek.” Tetapi, kalau dapat bertemu denganmu, bersamamu,  aku rela.

“Tolonglah mengerti. Aku bukan…”

“Kau bukan orang biasa. Kau artis. Aku tahu. Tetapi apakah kau tahu aku hanya wanita biasa?” Aku mulai mengucapkan dialog yang telah kulatih semalaman, karena khawatir kata-kataku akan tersendat. Khawatir akan perasaanku yang aku yakin akan menguasaiku kapan saja.

Pertanyaanku berhasil merenggut senyuman dari wajahmu. Tampangmu berubah serius. Sebuah hembusan napas pasrah membantumu menjawab pertanyaanku tadi.

“Jadi? Kau mau apa? Tidakkah kau sadar akan menjadi seperti ini kalau bersamaku?” Tuduhanmu menyayat jantungku seperti pisau yang baru diasah. Rasa sakit ini, bahkan membuat tenggorokanku panas. Rongga dadaku seperti diapit batu besar. Sesak.

Tentu saja aku menyadari hal itu. Sudah jutaan kali aku berkata pada diriku sendiri, jangan berharap banyak pada hubungan ini. Tetapi, apakah aku bisa? Tidak. Apakah aku mampu berhenti begitu saja? Tidak. Karena itulah, aku mengambil jalan ini. Menghindar memang pilihan yang paling mudah, dan paling sesuai bagiku saat ini.

Aku menghela napas. “Aku akan ke Paris besok. Aku tidak berharap berita kita mengganggu jalan hidupku.” Aku tidak berharap berita kita memusnahkan semua yang kau bangun selama ini, impianmu sejak dulu, mengapa kau  masuk ke industri ini.

Matamu membesar, lalu celingukan, berusaha mencari kata-kata yang cocok untuk merespons pernyataanku. Bukan pertama kali aku melihatmu seperti ini, yang biasanya akan berakhir dengan permohonan maaf darimu.

“Mianhae.”

Aku mendengus. “Mianhae? Lagi? Ini sudah ke berapa kalinya? Aku capek juga karena ini.” Karena aku tidak ingin melihat tampang sedihmu, saat kau sadar betapa kecewanya aku.

Setelah merapikan topi dan syalku, aku berdiri. Iya, penampilanku tidak kalah darimu. Topi, syal, kacamata hitam, dan kadang ditambah masker, seperti boneka salju yang akan meleleh begitu terkena sinar matahari.

“Aku berharap pertemuan kita selanjutnya akan lebih profesional. Itu kata-kata dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku serius. Benar-benar serius.” Aku mengulurkan tangan, sedangkan kau hanya menatapku tanpa bergeming. Rasa tercengangmu, rasa sedihmu, tertulis di wajahmu dengan begitu jelas.

Tetapi, aku? Rasa sakitku? Apakah kau dapat merasakannya?

“Baiklah,” kataku sambil menarik kembali tangan yang dibiarkan menggantung di udara. Dengan tenagaku yang tersisa, aku mengembangkan seulas senyum. “Sampai jumpa.”

Aku membalikkan badan persis saat setetes air mata bergulir menuruni pipiku. Air mata yang telah aku tahan sejak pandangan kami bertemu tadi pagi.

CUT!”
Sahutan sutradara memenuhi café kecil itu. Seluruh staff bersorak. Akhirnya, syuting hari itu selesai.

“Ye Eun-ssi!” sahut sutradara saat aku berpamitan untuk pulang. Senyumannya sangat lebar. Sayang sekali, rasa senangnya tidak berhasil menular kepadaku karena gagal menembus dinding yang telah dibangun dengan serpihan hatiku.

Aku berusaha melepaskan diri, apalagi saat melihat dia menarikmu ke arahnya. Tetapi aku tidak berhasil. Sutradara yang terkenal banyak komentar itu terus memamerkan kelihaiannya: berbicara.

“Aku benar-benar terpesona,” lanjut sutradara itu. “Jujur, aku sempat khawatir saat kau berkata padaku bahwa kau akan mengubah bagian dari naskah, Ye Eun-ssi.”

Dia berhenti dan mengalihkan perhatiannya padamu. “Tetapi saat Jong Hyun-ssi meneteskan air mata. Adegan di luar naskah yang mantap! Kalian benar-benar menghayati peran! Persis seperti sepasang kekasih yang akan berpisah!”

Aku hanya tersenyum. Sejenak aku melirikmu, penasaran dengan reaksimu. Tetapi, yang kudapati hanya tatapanmu yang penuh dengan tanda tanya. Aku memilih untuk menghindar dan meninggalkan lokasi syuting, daripada menyesal akan keputusanku dan berkata padamu bahwa itu hanya akting.

Tidak. Aku tidak ingin melihat raut wajahmu saat ditanya apakah kau mempunyai pacar, saat ditanya wartawan siapa gadis yang kau temui pada sore kemarin, saat meminta maaf karena telah membuatku kecewa.

Ponselku berdering begitu aku memasuki mobil. Ototku menegang. Jangan, aku belum bisa mendengar suaramu saat ini.

Deringan ponsel berhenti, berubah menjadi getaran singkat yang menandakan pesan masuk.

“Itu yang kau maksud? Sebelum syuting? Berkata padaku untuk memerhatikan setiap kata yang akan kau ucapkan? Berkata pada sutradara bahwa aku akan dapat memberikan reaksi yang alami? Jadi? Apakah reaksiku cukup alami?”

Ternyata yang kau lakukan adalah membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan. Tentu saja. Apa lagi?

Tetapi, apakah berlebihan jika aku berharap kau akan memintaku untuk tidak pergi, setelah apa yang kukatakan tadi? Berharap kau akan mengatakan bahwa aktingku bagus dan aku berbakat menjadi scriptwriter?

“Benar. Setelah drama ini, aku akan ke Inggris. Semoga pertemuan kita selanjutnya akan lebih profesional, Yoon Jong Hyun-ssi.”

Sent.

Air mataku mulai membasahi pipi. Tanganku refleks menyekanya. Tetapi, semakin aku menyeka, semakin deras tangisku. Seperti salju yang mulai turun dan menutupi kaca mobil, dan wiper yang terus membersihkannya tanpa membawa hasil yang berarti.