Saturday 11 July 2015

Cahaya

Hujan lagi.

Aku menatap rintik-rintik air yang menetes dari ujung atap. Awan kelabu menggantung di langit sejak pagi. Setelah hujan turun membasahi kota kecil ini siang tadi, jalanan yang masih basah kembali tergenang air sore ini. Nggak deras, tapi tetap mampu membuat orang-orang memasuki cafe ini untuk berteduh.

Aroma kopi memenuhi ruangan, berduet dengan musik country yang dimainkan salah satu karyawan di atas panggung kecil. Cafe yang didominasi perabot kayu dan warna cokelat muda itu penuh dengan pengunjung. Mataku mengikuti sepasang kekasih yang masuk bergandengan tangan dan terpaksa keluar lagi karena tidak ada tempat kosong.

Tempat dudukku ini memang strategis, di sudut ruangan tepat di samping jendela kaca cafe yang menghadap jalan. Meja ini adalah salah satu dari beberapa yang diposisikan agak tinggi. Kata pemilik cafe, awalnya tempat ini akan dijadikan panggung. Tetapi karena suatu hal, posisi panggung menjadi menghadap pintu keluar.

Hujan perlahan reda. Para pengunjung juga semakin berkurang. Aku menyesap vanilla latte yang masih tersisa sedikit.

"Jam segini minum kopi?"

Aku menoleh. Pemilik cafe, seorang wanita berumur 30-an, sudah berdiri di sampingku. Senyuman hangat menggantung di wajah tirusnya.

"Malam ini bakal kejar deadline," jawabku.

Wanita itu mengangguk pelan. "Boleh duduk?" tanyanya.

Aku mengangguk. Tangan kiriku dilipat di atas meja. Tangan kananku mengaduk-aduk gelas yang sudah hampir kosong sementara wanita itu menempati kursi di depanku.

Hening. Hanya terdengar pembicaraan samar pengunjung beberapa meja dari kami dan musik yang diputar dari CD player.

"Sudah menemukan orang yang kamu cari?"

Aku tidak menjawab. Lebih tepatnya, tidak mampu menjawab. Mulutku terkunci rapat. Napasku tertahan. Jantungku seperti diremas-remas. Sakit. Sesak.

Bulan lalu dia melenyapkan diri dari hidupku. Aku tahu ada alasan yang tidak dia katakan. Tapi dia memutuskan semua hubungan. Satu-satunya informasi yang aku dapat adalah ada yang melihatnya di kota ini. Karena itulah aku ke sini tanpa pikir panjang.

Baru sekarang aku menyadari betapa bodohnya diriku. Tinggal di kota ini selama hampir dua minggu tanpa hasil apa-apa. Aku sudah cukup beruntung pekerjaanku tidak mengharuskan aku berada di kantor, dan atasanku cukup baik untuk mengizinkan aku bekerja di sini dengan bantuan email dan internet. Seharusnya aku menyadari batas keberuntunganku. Mungkin sudah waktunya aku pulang dan mengiyakan permintaan ayahku. Mungkin aku harus mencoba menerima laki-laki yang dikenalkan teman ayahku itu. Iya, mungkin memang seharusnya begitu.

Aku menghela napas. "Aku rasa aku harus berhenti. Dunia ini memang kecil, tapi di antara begitu banyak orang, bagaimana caranya menemukan seseorang yang sengaja menyembunyikan diri darimu?"

"Aku rasa," ujar pemilik cafe. Matanya menerawang ke luar jendela. "Urutanmu tadi agak terbalik." Dia berhenti sesaat lalu menatapku sambil tersenyum. "Seharusnya begini. Orang-orang di dunia ini banyak, tapi dunia kecil, mengapa nggak mungkin menemukan orang yang kamu cari?"

Mataku mengikuti gerakan wanita itu. Dia berdiri. Kedua matanya masih melekat padaku. "Kamu sudah membuat keputusan. Nah, berusahalah. Berusaha sampai kamu merasa kalau dengan begitu, gagal juga nggak apa-apa. Berusahalah sampai kamu bisa menerima apapun yang terjadi. Karena di saat itu, yang terjadi adalah yang terbaik. Percayalah itu."

Aku masih melihat ke arah sang pemilik cafe setelah dia berbalik dan berjalan menuju kasir. Mungkin. Mungkin aku masih bisa berusaha sedikit lagi. Sedikit lagi.

Di luar, hujan sudah reda. Awan-awan bergeser memberi jalan kepada bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.


===
Lidya C. Yowendro
2015.07.10