Pandanganku terpaku pada ujung atap yang menesteskan air hujan. Pikiranku melayang pada hari itu. Cuaca saat itu persis seperti sesaat yang lalu. Hujan mengguyur kota ini tanpa belas kasihan.
Hari itu, dia pergi meninggalkanku. Dia yang menyinari hari-hariku dengan keceriaannya. Dia yang selalu membawa canda dan tawa kemanapun juga. Selama aku mengenalnya, tidak pernah sekalipun aku melihat raut wajah muramnya. Ya, begitulah orangnya, selalu ceria, bagaikan matahari yang memberikan kehangatan pada setiap orang.
Tetapi, bukan aku saja yang menikmati keberadaannya. Bukan aku saja yang menganggapnya matahari yang ceria. Banyak orang yang berpikiran sama sepertiku. Akhirnya, bagaimanapun besarnya usahaku, matahari ini tetap dibawa pergi. Dan akhirnya, rintik-rintik hujan menghujam hatiku.
Sampai kehadirannya. Dia, bukanlah matahari itu. Dia tidak seceria si matahari. Tidak ada tawa lepas, tidak ada canda yang memenuhi seisi ruangan. Dia hanya tersenyum, selalu begitu. Dalam menghadapi cobaan apapun,dia selalu tersenyum. Dan dalam senyuman itulah, aku mendapat kekuatan kembali untuk menunggu hingga hujan ini berlalu. Dengan begitu, aku bisa melihat pelangi.
Mungkin selama ini, aku terlalu terfokus pada matahari yang cerah. Tetapi, sekarang, aku sudah menemukan pelangi, yang lebih indah. Yang akan berada di sana setelah hujan dalam rongga dadaku reda.
Aku terperanjat saat segelas kopi hangat muncul di hadapanku. Dan tentu saja, pelangiku yang membawa kehangatan ini. Aku tersenyum dan menggenggam tangannya.
Di luar, hujan sudah reda. Dan di atas sana, yang lebih indah dari matahari yang cerah, pelangi.
Thursday, 8 November 2012
Monday, 8 October 2012
Pesta, Batal
"Ayo! Cepat!" sahut Andra.
Dia melangkah di paling depan dari barisan. Gula di tangannya sama sekali bukan masalah bagi ketua kelompok kami itu. Dia kuat, tanggung jawab, dan selalu dapat diandalkan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Langkahnya begitu tegap, matanya terpaku pada jalan menuju kampung kami, dimana kawan-kawan yang lain sedang menunggu sambil mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta malam ini.
Aku hanya bisa menarik kaki-kakiku yang sudah lemas. Sejak tadi pagi, setelah diumumkan bahwa akan diadakan pesta, aku sudah sibuk bukan main. Disuruh mempersiapkan minuman yang cukup untuk seisi kampung. Dapatkah kau bayangkan betapa susahnya melakukan hal itu? Aku berlari-lari ke sana-sini, melihat apakah ada minuman yang dapat kubawa. Ya, hanya aku sendiri! Aku tidak mengerti mengapa tidak ada yang datang membantuku.
Yang lebih tidak dapat kumengerti adalah pesta ini diadakan karena Sang Ratu ingin mengadakan sebuah pesta. Demikian saja! Tanpa tujuan yang jelas! Tentu saja dia dapat dengan seenaknya mengadakan pesta. Yang bekerja bukan dia, yang sibuk bukan dia, yang lelah bukan dia. Dia hanya memerintah, tanpa memberikan kontribusi apapun.
Ah, alangkah baiknya kalau pesta ini dibatalkan saja. Aku bisa istirahat secukupnya. Tetapi, kenyataannya aku masih harus menarik kaki yang kasihan ini kembali ke kampung. Sudahlah, pintu masuk sudah di depan mata. Andra sudah bahkan sudah hilang dari pandanganku.
"Hati-hati!" Terdengar sebuah suara dari belakangku. Aku menoleh dan melihat sebuah ombak besar sedang menuju ke arah kami. Aku segera berlari menyelamatkan diri. Jangan. Jangan! Aku tidak mau mati!
Dia melangkah di paling depan dari barisan. Gula di tangannya sama sekali bukan masalah bagi ketua kelompok kami itu. Dia kuat, tanggung jawab, dan selalu dapat diandalkan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Langkahnya begitu tegap, matanya terpaku pada jalan menuju kampung kami, dimana kawan-kawan yang lain sedang menunggu sambil mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta malam ini.
Aku hanya bisa menarik kaki-kakiku yang sudah lemas. Sejak tadi pagi, setelah diumumkan bahwa akan diadakan pesta, aku sudah sibuk bukan main. Disuruh mempersiapkan minuman yang cukup untuk seisi kampung. Dapatkah kau bayangkan betapa susahnya melakukan hal itu? Aku berlari-lari ke sana-sini, melihat apakah ada minuman yang dapat kubawa. Ya, hanya aku sendiri! Aku tidak mengerti mengapa tidak ada yang datang membantuku.
Yang lebih tidak dapat kumengerti adalah pesta ini diadakan karena Sang Ratu ingin mengadakan sebuah pesta. Demikian saja! Tanpa tujuan yang jelas! Tentu saja dia dapat dengan seenaknya mengadakan pesta. Yang bekerja bukan dia, yang sibuk bukan dia, yang lelah bukan dia. Dia hanya memerintah, tanpa memberikan kontribusi apapun.
Ah, alangkah baiknya kalau pesta ini dibatalkan saja. Aku bisa istirahat secukupnya. Tetapi, kenyataannya aku masih harus menarik kaki yang kasihan ini kembali ke kampung. Sudahlah, pintu masuk sudah di depan mata. Andra sudah bahkan sudah hilang dari pandanganku.
"Hati-hati!" Terdengar sebuah suara dari belakangku. Aku menoleh dan melihat sebuah ombak besar sedang menuju ke arah kami. Aku segera berlari menyelamatkan diri. Jangan. Jangan! Aku tidak mau mati!
*
"Rendi, apa yang sedang kau lakukan?"
"Nggak, Ma. Ini banyak betul semut di dekat sini. Perasaan Rendi nggak enak. Geli. Jadi, Rendi siram saja dengan air panas ini," jawab bocah itu dengan santai sambil menunjuk termos kecil di tangannya.
Perayaan Ulang Tahun
Dengan langkah terburu-buru, aku berjalan menuju mobil sambil berusaha menjaga keseimbangan agar kue di tangan tidak apa-apa. Entah kenapa, debaran jantungku semakin cepat seiring dengan waktu yang semakin mendekat. Langkahku terasa semakin berat. Bahkan kunci mobilpun tidak berhasil kumasukkan dengan tepat karena tanganku yang mulai gemetar.
"Jangan telat!" Tiba-tiba saja kata-kata kakakku dalam percapakan ponsel tadi terdengar lagi dalam benakku.
Aku menghirup napas sedalam mungkin dan menghembuskannya dengan perlahan untuk menenangkan diri. Cara paling ampuh bagiku di saat aku gugup atau terlalu tegang. Cara yang diajarkan Bunda sejak aku masih kecil dulu.
"Ulang tahun Bunda kali ini, pokoknya kita semua harus hadir!" Kata-kata kakakku kembali terngiang.
Benar. Bunda dengan susah payah membesarkan kami bertujuh. Setelah kami terjun dalam dunia kerja, ulang tahun Bunda jarang dirayakan bersama. Hadir empat dari kami saja sudah termasuk ramai. Namun, berapapun orang yang merayakan ulang tahunnya, Bunda selalu tersenyum senang. Mungkin sebenarnya dalam hati, dia juga kecewa, tetapi, Bunda tidak pernah menunjukkannya pada kami.
Hingga tahun lalu.
Bunda duduk di ruang tamu, kami bertiga duduk di sisinya, sambil memberikan isyarat siapa yang meminta izin untuk pulang dulu. Dengan begitu, yang lainnya bisa ikut pulang.
Bunda, masih dengan senyumannya, berkata, "Sudahlah. Kalau sibuk, pulang saja dulu."
Tanpa ragu, kami berdiri dan pamit. Tetapi, saat Kak Desi masuk ke dalam untuk mengambil kunci mobilnya, tanpa sengaja, dia mendengar Bunda berkata pada Mbak Ita, suster yang menjaga Bunda, bahwa dia sangat berharap agar semua anaknya dapat merayakan ulang tahunnya bersama. Untuk sekali saja.
Jadi, untuk tahun ini, kami bertujuh sengaja mengosongkan jadwal untuk hari ini. Bagaimanapun juga, pokoknya semua dari kami harus hadir dalam perayaan ulang tahun ini.
Degupan jantungku semakin kacau saat aku turun dari mobil. Kak Desi sudah menunggu di tempat parkir untuk membantuku membawakan kue. Perlahan kami berjalan menuju tempat yang lainnya berada. Dan benar sesuai apa yang Bunda inginkan. Kami bertujuh berkumpul lagi untuk merayakan ulang tahun Bunda. Tetapi, sayang sekali, Bunda sendiri tidak hadir.
Kak Desi meletakkan kue ulang tahun di depan batu nisan bertuliskan nama Bunda. Tangannya refleks menyentuh foto Bunda. Setetes air matanya terjatuh, tepat mengenai kue yang dibawanya tadi.
"Selamat ulang tahun, Bunda," katanya.
"Jangan telat!" Tiba-tiba saja kata-kata kakakku dalam percapakan ponsel tadi terdengar lagi dalam benakku.
Aku menghirup napas sedalam mungkin dan menghembuskannya dengan perlahan untuk menenangkan diri. Cara paling ampuh bagiku di saat aku gugup atau terlalu tegang. Cara yang diajarkan Bunda sejak aku masih kecil dulu.
"Ulang tahun Bunda kali ini, pokoknya kita semua harus hadir!" Kata-kata kakakku kembali terngiang.
Benar. Bunda dengan susah payah membesarkan kami bertujuh. Setelah kami terjun dalam dunia kerja, ulang tahun Bunda jarang dirayakan bersama. Hadir empat dari kami saja sudah termasuk ramai. Namun, berapapun orang yang merayakan ulang tahunnya, Bunda selalu tersenyum senang. Mungkin sebenarnya dalam hati, dia juga kecewa, tetapi, Bunda tidak pernah menunjukkannya pada kami.
Hingga tahun lalu.
Bunda duduk di ruang tamu, kami bertiga duduk di sisinya, sambil memberikan isyarat siapa yang meminta izin untuk pulang dulu. Dengan begitu, yang lainnya bisa ikut pulang.
Bunda, masih dengan senyumannya, berkata, "Sudahlah. Kalau sibuk, pulang saja dulu."
Tanpa ragu, kami berdiri dan pamit. Tetapi, saat Kak Desi masuk ke dalam untuk mengambil kunci mobilnya, tanpa sengaja, dia mendengar Bunda berkata pada Mbak Ita, suster yang menjaga Bunda, bahwa dia sangat berharap agar semua anaknya dapat merayakan ulang tahunnya bersama. Untuk sekali saja.
Jadi, untuk tahun ini, kami bertujuh sengaja mengosongkan jadwal untuk hari ini. Bagaimanapun juga, pokoknya semua dari kami harus hadir dalam perayaan ulang tahun ini.
Degupan jantungku semakin kacau saat aku turun dari mobil. Kak Desi sudah menunggu di tempat parkir untuk membantuku membawakan kue. Perlahan kami berjalan menuju tempat yang lainnya berada. Dan benar sesuai apa yang Bunda inginkan. Kami bertujuh berkumpul lagi untuk merayakan ulang tahun Bunda. Tetapi, sayang sekali, Bunda sendiri tidak hadir.
Kak Desi meletakkan kue ulang tahun di depan batu nisan bertuliskan nama Bunda. Tangannya refleks menyentuh foto Bunda. Setetes air matanya terjatuh, tepat mengenai kue yang dibawanya tadi.
"Selamat ulang tahun, Bunda," katanya.
Sunday, 7 October 2012
Graduation "Thanks to" Part 2: IF Zero Nine Classmates
I couldn't have enjoyed my undergraduate days if it was not for the existence of my IF Zero Nine classmates.
My thanks to..
Thank you to each and everyone of IF Zero Nine members. Dari ketua Ricky hingga si anak mas Ardi, each and everyone of you who have added smiles to my days. Thank you for accompanying me, for bringing me laughter and happiness, for creating troubles and problems for me to solve, and most importantly for filling up my days with colourful memories for me to reminisce from time to time.
Di sini, ada sesuatu yang ingin saya akui. Waktu awal masuk, karena saya daftarnya sendiri alias tanpa teman, saya melangkah memasuki ruangan kelas dengan pemikiran 'saya ke sini untuk belajar dan bukan untuk berteman'. Jadi, waktu itu saya sudah menghipnotis diri sendiri, bahwa untuk seterusnya, I'm going solo.
Tetapi, selesai pertemuan pertama, saya sudah dapat memprediksi kehidupan saya untuk semester-semester ke depan. Saat itu, saya menyadari bahwa kelas ini ceweknya nggak banyak, anggota kelas ini ribut dan banyak komentar, banyak yang suka merokok, meskipun rata-rata ramah. Untuk selanjutnya, semuanya pasti akan kacau.
Saya masih dapat mengingat dengan jelas, pada awal masuk saja sudah 'diganggu' Ricky, yang ujung-ujungnya menjadi ketua kelas. Jujur, sampai sekarang juga saya bingung mengapa dia yang dipilih.
Lalu, selain saya, hanya dua mahasiswi dalam kelas, yang duduk di belakang saya, Merlin dan Elli.
Dan dua orang super tinggi yang dengan penuh rasa nggak tahu diri duduk di barisan paling depan, menghalang pandangan saya, Kelvin dan Agus.
Kemudian, orang pertama yang mengajak kenalan dengan saya, lokasi kenalannya tepat di depan tangga menuju lantai satu, anak kesayangan keluarga IF Zero Nine, Ardiyansyah. Maaf, Di, harus saya akui juga, waktu itu, saya kurang ingat nama Ardi.. Peace, yah...
Dan seiring dengan berjalannya waktu, segalanya berubah. Aneh sekali. Saya juga nggak tahu awal mulanya dari mana dan sejak kapan. Pokoknya, suatu hari, tiba-tiba, saya terbiasa dengan keributan ini, bahkan otak saya juga menjadi encer dalam hal melontarkan komentar-komentar yang bisa membuat orang lain pusing, meskipun saya nggak melakukannya di dalam kelas. Saya mulai terbiasa dengan cara kalian meramaikan suasana, terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan nggak nyambung yang kalian lontarkan pada dosen, terbiasa dengan kehadiran kalian yang entah sejak kapan saya beri label 'teman'. Tiba-tiba saja, I'm not going solo anymore.
Banyak sekali kenangan yang kalian berikan kepada saya. Karena kalianlah, saya tidak menyesal menyelesaikan studi di STTI. Saya belajar banyak dari dosen, tetapi, saya belajar lebih banyak dari kalian. Bagaimana membuat dosen pusing, bagaimana bersifat ramah pada orang yang baru dikenal, bagaimana memberikan perasaan nyaman bagi orang yang berdiri di depan kelas, dan banyak lagi. Saya sendiri terasa perubahan dalam sifat dan pemikiran saya. Asal kalian tahu saja, kalian turut berkontribusi membentuk diri saya yang sekarang.
Terima kasih, sudah mewarnai tiga tahun dari kehidupan saya ini. Tiga tahun yang tadinya sudah saya cap akan merupakan gambar hitam putih, menjadi lukisan berwarna-warni yang begitu indah karena kehadiran kalian, terutama Diki dan Agus, yang bersama saya dikenal tiga sekawan dalam kelas. Yang lain jangan cemburu, ya.
Diki, yang dikenal sebagai geng saya dalam kelas. Terima kasih atas dukungannya selama ini, terima kasih selalu percaya pada kemampuan saya. Dik, jangan pusing hal-hal kecil lagi ya, kan banyak yang udah Diki lewati. Kalau masih mau curhat-curhat, lewat FB atau Whatsapp aja, aku pasti baca kok. Stay happy, my friend.
Agus, geng saya no.2 dalam kelas. Si jangkung yang sering menyerah duluan sebelum mulai dalam hal belajar, ujian, dan membuat tugas. Si tangan beruntung yang selalu mendapat urutan yang baik kalau disuruh undi untuk urutan presentasi. Please bro, believe in yourself.
Kelvin, satu-satunya orang yang bisa saya ajak ngomong tentang K-Pop dalam kelas. Orang tertinggi dalam kelas yang selalu menjawab dengan 'ga mau' tiap kali disuruh maju, dan alasannya selalu 'malas' tiap kali ditanya mengapa. Kelvin, be more diligent.
Ardi, adik kesayangan dalam kelas meskipun bukan bungsu. Anak mas yang selalu membuat suasana ringan. Kalau tiba-tiba memanggil saya, pasti tentang f(x), terutama Amber, meskipun dirinya bukan fans mereka. Si pemilik otak encer yang banyak komentar menggemaskan. "Kenalan dong, nama saya Ardi," katanya selesai hari pertama kuliah, setelah mencegat saya di depan tangga. Stay cheerful, bebek.
Amat, bang Jajang, Merlin, Elli, bang Herman, bang Ricky, bang Ade, Sudi, Guruh, dan anggota IF Zero Nine lainnya, yang juga ikut memenuhi hari-hari saya dengan kejadian-kejadian yang tidak terlupakan. Bagi yang namanya nggak disebut, jangan tersinggung, ya. Yang penting kalian mengaku kalian adalah bagian dari IF Zero Nine, maka masuklah kalian ke dalam daftar saya ini.
Postingan ini saya dedikasikan khusus untuk IF Zero Nine, setiap orang yang termasuk di dalamnya. Thank you all so much for colouring my life. I won't forget you.
My thanks to..
To My Classmates, IF '09 STTI alias IF Zero Nine
Thank you to each and everyone of IF Zero Nine members. Dari ketua Ricky hingga si anak mas Ardi, each and everyone of you who have added smiles to my days. Thank you for accompanying me, for bringing me laughter and happiness, for creating troubles and problems for me to solve, and most importantly for filling up my days with colourful memories for me to reminisce from time to time.
Di sini, ada sesuatu yang ingin saya akui. Waktu awal masuk, karena saya daftarnya sendiri alias tanpa teman, saya melangkah memasuki ruangan kelas dengan pemikiran 'saya ke sini untuk belajar dan bukan untuk berteman'. Jadi, waktu itu saya sudah menghipnotis diri sendiri, bahwa untuk seterusnya, I'm going solo.
Tetapi, selesai pertemuan pertama, saya sudah dapat memprediksi kehidupan saya untuk semester-semester ke depan. Saat itu, saya menyadari bahwa kelas ini ceweknya nggak banyak, anggota kelas ini ribut dan banyak komentar, banyak yang suka merokok, meskipun rata-rata ramah. Untuk selanjutnya, semuanya pasti akan kacau.
Saya masih dapat mengingat dengan jelas, pada awal masuk saja sudah 'diganggu' Ricky, yang ujung-ujungnya menjadi ketua kelas. Jujur, sampai sekarang juga saya bingung mengapa dia yang dipilih.
Lalu, selain saya, hanya dua mahasiswi dalam kelas, yang duduk di belakang saya, Merlin dan Elli.
Dan dua orang super tinggi yang dengan penuh rasa nggak tahu diri duduk di barisan paling depan, menghalang pandangan saya, Kelvin dan Agus.
Kemudian, orang pertama yang mengajak kenalan dengan saya, lokasi kenalannya tepat di depan tangga menuju lantai satu, anak kesayangan keluarga IF Zero Nine, Ardiyansyah. Maaf, Di, harus saya akui juga, waktu itu, saya kurang ingat nama Ardi.. Peace, yah...
Dan seiring dengan berjalannya waktu, segalanya berubah. Aneh sekali. Saya juga nggak tahu awal mulanya dari mana dan sejak kapan. Pokoknya, suatu hari, tiba-tiba, saya terbiasa dengan keributan ini, bahkan otak saya juga menjadi encer dalam hal melontarkan komentar-komentar yang bisa membuat orang lain pusing, meskipun saya nggak melakukannya di dalam kelas. Saya mulai terbiasa dengan cara kalian meramaikan suasana, terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan nggak nyambung yang kalian lontarkan pada dosen, terbiasa dengan kehadiran kalian yang entah sejak kapan saya beri label 'teman'. Tiba-tiba saja, I'm not going solo anymore.
Banyak sekali kenangan yang kalian berikan kepada saya. Karena kalianlah, saya tidak menyesal menyelesaikan studi di STTI. Saya belajar banyak dari dosen, tetapi, saya belajar lebih banyak dari kalian. Bagaimana membuat dosen pusing, bagaimana bersifat ramah pada orang yang baru dikenal, bagaimana memberikan perasaan nyaman bagi orang yang berdiri di depan kelas, dan banyak lagi. Saya sendiri terasa perubahan dalam sifat dan pemikiran saya. Asal kalian tahu saja, kalian turut berkontribusi membentuk diri saya yang sekarang.
Terima kasih, sudah mewarnai tiga tahun dari kehidupan saya ini. Tiga tahun yang tadinya sudah saya cap akan merupakan gambar hitam putih, menjadi lukisan berwarna-warni yang begitu indah karena kehadiran kalian, terutama Diki dan Agus, yang bersama saya dikenal tiga sekawan dalam kelas. Yang lain jangan cemburu, ya.
Diki, yang dikenal sebagai geng saya dalam kelas. Terima kasih atas dukungannya selama ini, terima kasih selalu percaya pada kemampuan saya. Dik, jangan pusing hal-hal kecil lagi ya, kan banyak yang udah Diki lewati. Kalau masih mau curhat-curhat, lewat FB atau Whatsapp aja, aku pasti baca kok. Stay happy, my friend.
Agus, geng saya no.2 dalam kelas. Si jangkung yang sering menyerah duluan sebelum mulai dalam hal belajar, ujian, dan membuat tugas. Si tangan beruntung yang selalu mendapat urutan yang baik kalau disuruh undi untuk urutan presentasi. Please bro, believe in yourself.
Kelvin, satu-satunya orang yang bisa saya ajak ngomong tentang K-Pop dalam kelas. Orang tertinggi dalam kelas yang selalu menjawab dengan 'ga mau' tiap kali disuruh maju, dan alasannya selalu 'malas' tiap kali ditanya mengapa. Kelvin, be more diligent.
Ardi, adik kesayangan dalam kelas meskipun bukan bungsu. Anak mas yang selalu membuat suasana ringan. Kalau tiba-tiba memanggil saya, pasti tentang f(x), terutama Amber, meskipun dirinya bukan fans mereka. Si pemilik otak encer yang banyak komentar menggemaskan. "Kenalan dong, nama saya Ardi," katanya selesai hari pertama kuliah, setelah mencegat saya di depan tangga. Stay cheerful, bebek.
Amat, bang Jajang, Merlin, Elli, bang Herman, bang Ricky, bang Ade, Sudi, Guruh, dan anggota IF Zero Nine lainnya, yang juga ikut memenuhi hari-hari saya dengan kejadian-kejadian yang tidak terlupakan. Bagi yang namanya nggak disebut, jangan tersinggung, ya. Yang penting kalian mengaku kalian adalah bagian dari IF Zero Nine, maka masuklah kalian ke dalam daftar saya ini.
Postingan ini saya dedikasikan khusus untuk IF Zero Nine, setiap orang yang termasuk di dalamnya. Thank you all so much for colouring my life. I won't forget you.
Tuesday, 2 October 2012
The ELF Me - 1 Year Anniversary
2nd October 2011, I accidentally watched their A-Cha MV while my sister was watching it on the desktop in our living room. Her friend tagged her on facebook, nothing more, nothing less. She knew some of them and started introducing those some to me.
Out of curiosity, I searched their videos on youtube, and I came across this video. At that time, I thought, "Wow, this guy really can sing."
Okay, I admit. During that whole A-Cha MV, he's the one who caught my eye. And after watching the video of him singing live, all of a sudden I became interested in him. So, with the help of dear Google, I got quite a handful of his information.
Then, I went on to read from Wikipedia about this group called Super Junior. Because of him though. When I realized that there were two sets of names: the stage names and the birth names, I decided to just memorize Yesung's, plus his birthday, since it's quite impossible to memorize all 13+2 of them. Well, that's what I thought at that time.
But within an hour or so, all their names and birthdates were glued in my head. From the eldest to the youngest, no problem.
After that, I watched another video of them, Super Junior Show episode 18, if I remember correctly, about their Thailand trip. The video was taken way back in 2006. Their cheerfulness totally mesmerized me.
And all of a sudden, voila! Call me an ELF, Ever Lasting Friend.
Some days later, a friend said to me that she became their fan during the early part of 2011, and she also said that during these later months of 2011, her passion seemed to have died down. She's still their fan, but not as much as before. So, in conclusion, she told me that as the days passed, I would not like them as much as when we were chatting.
And today, 2nd October 2012, I believe she's right.
Now, after a whole year have passed. After learning almost (Note: just to be modest) everything about this group. After experiencing quite a number of things with them and the other ELF, just imagine, in an amount of time as short as a year, a lot of things have happened to them, and us, good ones and bad ones. After all these... I don't think I like them as much as a year ago.
I like them more than a year ago. Can I use the word love? It's such a strong word. LOL.
After knowing them, after realizing how much hardships they've been through, after understanding that this group that brought me so much laughter has endured so many hurtful incidents. They survived. With their tears and sweats, they've achieved so much. And yes, they deserve all of them.
I learned a lot from them. A whole lot.
Not giving up, giving all you've got, and working hard doesn't always give you what you've dreamed of. But if you are patient enough, if you are willing to keep going, you'll see that miracles do happen and dreams do come true.
I am proud to say that I'm a part of ELF, a part of the sapphire blue ocean. And I look forward to my 2 year anniversary post. 1 year down, forever to go.
It's not end, but and...
슈퍼주니어오빠들...
늘고맙고 사랑한다,
영원하자 슈주엘프...
Out of curiosity, I searched their videos on youtube, and I came across this video. At that time, I thought, "Wow, this guy really can sing."
Okay, I admit. During that whole A-Cha MV, he's the one who caught my eye. And after watching the video of him singing live, all of a sudden I became interested in him. So, with the help of dear Google, I got quite a handful of his information.
Then, I went on to read from Wikipedia about this group called Super Junior. Because of him though. When I realized that there were two sets of names: the stage names and the birth names, I decided to just memorize Yesung's, plus his birthday, since it's quite impossible to memorize all 13+2 of them. Well, that's what I thought at that time.
But within an hour or so, all their names and birthdates were glued in my head. From the eldest to the youngest, no problem.
After that, I watched another video of them, Super Junior Show episode 18, if I remember correctly, about their Thailand trip. The video was taken way back in 2006. Their cheerfulness totally mesmerized me.
And all of a sudden, voila! Call me an ELF, Ever Lasting Friend.
Some days later, a friend said to me that she became their fan during the early part of 2011, and she also said that during these later months of 2011, her passion seemed to have died down. She's still their fan, but not as much as before. So, in conclusion, she told me that as the days passed, I would not like them as much as when we were chatting.
And today, 2nd October 2012, I believe she's right.
Now, after a whole year have passed. After learning almost (Note: just to be modest) everything about this group. After experiencing quite a number of things with them and the other ELF, just imagine, in an amount of time as short as a year, a lot of things have happened to them, and us, good ones and bad ones. After all these... I don't think I like them as much as a year ago.
I like them more than a year ago. Can I use the word love? It's such a strong word. LOL.
After knowing them, after realizing how much hardships they've been through, after understanding that this group that brought me so much laughter has endured so many hurtful incidents. They survived. With their tears and sweats, they've achieved so much. And yes, they deserve all of them.
I learned a lot from them. A whole lot.
Not giving up, giving all you've got, and working hard doesn't always give you what you've dreamed of. But if you are patient enough, if you are willing to keep going, you'll see that miracles do happen and dreams do come true.
I am proud to say that I'm a part of ELF, a part of the sapphire blue ocean. And I look forward to my 2 year anniversary post. 1 year down, forever to go.
It's not end, but and...
슈퍼주니어오빠들...
늘고맙고 사랑한다,
영원하자 슈주엘프...
Saturday, 29 September 2012
Langkah Ke-101
Aku duduk termenung di depan laptop. Telepon darimu membuat hari
Sabtu yang cerah ini kelam seketika. Aneh. Sejak kapan mendapat panggilan
darimu menjadi sesuatu yang membuatku sedih? Sepanjang ingatanku, mendengar
suaramu selalu merupakan hal yang menyenangkan. Jadi, mengapa perasaanku
seperti ini?
Sakit. Sangat sakit, saat aku sepenuhnya
sadar bahwa senyumanmu padaku sama saja dengan senyumanmu yang kaulontarkan
pada orang lain. Sangat menyesakkan, saat aku tahu bahwa usahaku selama ini
sia-sia. Aku tetap bukan orang yang istimewa.
Tidak. Untuk kali ini, aku tidak
akan memenuhi ajakanmu lagi. Aku tidak akan memusingkan diriku dengan apa yang
akan kaubicarakan atau apa yang pakaian apa yang harus kupakai.
Tanpa aba-aba, tanganku menghidupkan
laptop dan membuka folder yang terkunci, yang berisi
rahasiaku. Setiap huruf di dalamnya adalah cermin dari apa yang kurasakan
karena dirimu, dan tidak ada yang boleh membacanya. Mengapa? Karena aku tidak
ingin ada yang mengetahui isinya. Rahasiaku yang dengan susah payah kusembunyikan.
Darimu.
Judul tulisan yang terakhir “Langkah
ke-100”, memperingatiku bahwa aku harus berhenti perjalanan ini. Perjalanan
menutupi jarak di antara kita, dari langkah pertama hingga langkah ke-100. Aku
rela menapak setiap langkah itu sendirian, tanpa harus kau bergerak sedikitpun.
Mungkin mereka yang tahu akan menertawakanku. Tetapi, aku tidak akan
berkomentar apa-apa, sebab aku rela.
Tetapi, aku tidak bodoh. Jika hingga
langkah ke-100 juga ternyata jarak kita belum tertutup, jika hingga langkah
ke-100 juga aku masih belum dapat mencapaimu, aku akan berhenti. Dan 100
langkah yang telah kuambil itu akan merupakan kenangan indah, rahasia pahit
yang akan kupendam selamanya.
Sekarang, saat itu sudah sampai.
Ternyata 100 langkah benar-benar tidak cukup. Selesai sudah perjuangan yang
sia-sia ini.
Jemariku dengan lincah menari-nari
di atas keyboard. Melampiaskan
perasaanku dengan cara ini merupakan kebiasaan yang telah terbentuk sejak hari
pertama aku menyadari bahwa kehadiranmu bagiku bukan hanya teman semata. Dalam
hitungan detik, selesailah tulisan hari ini.
Entri 29 September 2012:
Judul: finKau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Kali ini, aku sudah memantapkan hatiku, mengeraskan perasaanku. Aku tidak akan terjerumus dalam senyumanmu padaku, yang tidak mempunyai makna istimewa itu.
Aku menghela napas lega. Selesai
sudah. Mulai sekarang, aku akan menjadi seseorang yang baru, bukan lagi gadis
bodoh yang selalu mengharapkan dirimu. Dan kuharap dengan begitu, kau akan
sadar, bahwa kehadiranku ternyata demikian penting.
Setelah memantapkan pikiranku, aku
mulai menjelajah beberapa dari daftar tulisan dalam folder. Entah apa yang mendorongku membuat hal yang tidak berarti
ini. Dan ternyata sudah demikian lama aku menulis di sini, lebih dari setahun.
Berarti, selama itu jugalah aku memendam perasaanku ini. Dan selama itu
jugalah, kau yang hanya menganggapku teman, tidak menyadarinya.
Langkah ke-1:Dan hari ini, kau lagi-lagi menjemputku saat akan ke kampus. Katamu, karena satu arah, jadi sekalian saja. Saat kau katakan mulai hari ini, kau bersedia menjadi supir pribadiku untuk seterusnya, kau tahu bagaimana perasaanku? Ya, langkah awal yang baik.Langkah ke-13:Kau menyetujui ajakanku untuk menghadiri reuni SMA. Kau bahkan sibuk bertanya-tanya apa yang harus kau kenakan. Dalam pandanganku, kau seperti seorang gadis yang gugup sebelum first date. Satu langkah lebih dekat lagi.Langkah ke-24:Hari ke-8 kita tidak berbicara. Padahal kita bertengkar hanya gara-gara hal kecil. Tetapi, tanpa sengaja, aku mendengarmu bercerita pada teman, bahwa kau merasa tidak terbiasa tanpa diriku yang meracau di sisimu. Meski kita sedang perang dingin, tetapi ini suatu proses yang bagus, kan?Langkah ke-51:Kau dengan bangga memamerkan hadiah dari dia, pacarmu itu yang baru pulang dari Australia untuk melewati liburan kuliahnya. Dia, yang juga teman baikku, orang yang memperkenalkan kita. Tetapi, kau juga mengucapkan terima kasih padaku yang berperan banyak dalam hidupmu, terutama di saat kau memerlukan dukungan. Hei, kau yang masih tidak tahu apa-apa, kalau saya yang duluan mengenalmu, apakah statusku masih sekadar teman?Langkah ke-72:Kau menanyakan pendapatku tentang gadis yang kau kenalkan padaku kemarin. Setelah beberapa bulan memutuskan hubungan LDR-mu, kau menemukan ‘dia’ yang baru. Apa yang harus kukatakan? Alhasil, aku hanya membisu. “Kau tidak menyukainya?” tanyamu. Kau tahu apa yang membuatku tercengang? Saat aku mengangguk, kata-kata yang kau ucapkan tanpa memikir lebih jauh. “Kalau begitu, dia out.” Bagimu, pendapatku penting, kan?Langkah ke-89:Setelah bermalam-malam kekurangan tidur karena mengejar laporan, aku jatuh sakit juga. Dan kau, membatalkan janji temu dengan adik kelas yang manis itu, hanya karena ingin menemaniku. Kau begitu mengkhawatirkanku.Langkah ke-100:Aku membawa kue buatanku sendiri, bertandang ke rumahmu, hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan dengan harapan dapat merayakan hari istimewa ini berdua. Kau dengan senang menyambutku, mengacak-acak rambutku, dan mulai mengatakan betapa beruntungnya dirimu mempunyai seorang teman yang pandai membuat kue. Ternyata, aku masih teman. Ternyata, langkahku yang ke-100, belum cukup untuk menutupi jarak di antara kita. Sebenarnya, masih berapa langkah lagi yang dibutuhkan?
Aku menghembuskan napas pelan.
Pasrah. Kepalaku pusing. Kau mendekat lalu menjauh, tetapi kau tidak pernah
menolak kebaikanku, kau bahkan
membalasnya dengan hal yang membuat hatiku berdebar lebih kencang. Apa yang harus
kulakukan? Apakah aku dapat melepas begitu saja?
Bagaimana kalau ternyata jika aku
terus menunggu dan terus melangkah, kau akan menyadari kelalaianmu selama ini?
Dari langkah pertama hingga langkah ke-100, itulah kemajuan dari hubungan kita.
Kemajuan yang hanya ada karena diriku yang tidak putus asa.
What if, it seems like you’re going
to love me
Because it seems like you’re going
to come to me if I just wait a little
With these anticipations, I can’t
leave you
Ponselku berdering di saat yang
tepat. Aku memerlukan sesuatu untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi, begitu aku
melihat namamu yang tertera di layar, napasku tercekat untuk sesaat. Apakah ini
sebuah pertanda?
“Sudah
siap? Aku berangkat sekarang.”
Pesan singkat itu membuatku
tertegun. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, SMS seperti ini sudah pernah
kaukirim untuk banyak gadis yang lainnya bukan? Tidak hanya aku, meskipun aku
dikenal sebagai gadis yang paling dekat denganmu. Namun, juga dikenal sebagai
gadis yang berlabel teman bagimu.
Even though I wanted to believe that
that smile was just for me
It probably isn’t, right?
But still, just maybe
Hei, kalau sebenarnya jarak di
antara kita ada 1000 langkah. Apakah mungkin bagiku untuk menapak kesemua
langkah itu? Apakah aku dapat berharap kau akan mulai melangkah ke arahku juga?
Dua buah suara dalam diriku berdebat.
Otakku melontarkan berbagai logika, hatiku menolak dengan alasan yang mungkin
saja hanya berupa harapan palsu. Tetapi, aku ingin berpegangan pada harapan itu.
Sebab itulah yang memotivasiku selama ini. Dan aku yakin, harapan itu juga akan
terus mendorongku untuk seterusnya, berapapun panjangnya jarak yang harus
kulalui.
These thoughts are useless
For I’m already living in the deeply
set times of you
Aku membuka kembali draf terbaru itu
dan mulai mengetik. Salah. Mengedit.
Entri 29 September 2012:
Judul: Langkah ke-101Kau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Dan kali ini sudah kuputuskan, berapapun langkah yang harus kutapak, aku akan terus maju. Sebab, siapa tahu, kalau aku terus menunggu, kau akan datang padaku. Ya, benar. Aku memang bodoh.
Even though pain is heavy
Still, I feel like you’ll love me
=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: What If By Super Junior
Post #10 of #30HariLagukuBercerita
Post #10 of #30HariLagukuBercerita
Wednesday, 26 September 2012
Gidarilge -기다릴게-
Aku melangkah keluar pintu kaca yang
terbuka secara otomatis, dengan bagasi dan ransel yang telah menemaniku selama
perjalanan yang melelahkan ini. Perjalanan selama dua tahun yang membuat
perasaanku sekarang bercampur aduk. Senang, bangga, tetapi juga khawatir dan
takut.
Hei, bukan setiap hari seorang
lulusan S2 jurusan arsitektur yang mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di
Korea Selatan pulang ke negara asalnya. Mendapat beasiswa seperti itu saja
sudah suatu anugerah besar yang tidak terjadi pada sembarang orang.
Tetapi, dua tahun. Itu yang menjadi
masalah. Aku tidak tahu apa yang telah berubah, dan apa yang tidak. Selama ini,
aku hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman melalui dunia maya.
Demikian juga keadaannya dengan dia. Dia yang selama ini terus menempati di
posisi istimewa dalam hatiku. Tetapi, setelah dua tahun, apakah posisiku
baginya masih sama seperti dulu?
Langkahku memelan, dan kemudian
terhenti, saat aku menyadari tidak ada yang menjemputku di bandara. Bahkan
keluargaku pun tidak datang. Aku mendecak lidah kesal. Tetapi, ada atau tidak
yang menjemputku, aku juga harus pulang ke rumah. Bisa kemana lagi?
Aku mendesah sebelum bergerak lagi.
Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan tiba-tiba menutup mataku dari
belakang dan menahan ayunan langkahku. Tangan yang lembut. Sentuhannya seakan
takut kacamataku akan retak begitu mengenai tangannya. Jangan-jangan…
Aku segera menurunkan tangan itu dan
membalikkan badan.
Dia berdiri di sana, dengan
senyumannya yang khas, yang selama ini hanya dapat kubayangkan, yang selama ini
begitu kurindukan. Dia… datang.
Terdengar sorakan dari belakang.
Sorakan kacau yang menarik perhatian orang-orang sekitar. Sama seperti mereka
yang terkejut, aku menoleh pada asal suara, dan mendapati keluarga dan
teman-teman dekatku berdiri dalam satu deretan, sambil mengangkat spanduk dan
papan-papan kecil bertuliskan namaku dan tulisan “welcome home”. Apaan ini?
“Kalian terlalu berlebihan,” kataku
sambil berjalan ke arah mereka. Tanganku menggenggam erat tangan yang baru saja
memberiku kejutan manis tadi. Genggaman yang ditunda selama dua tahun.
Genggaman yang kunantikan selama dua tahun.
“Berlebihan apanya? Ini kami lagi
jemput artis dari Korea!” sahut adikku dengan senyuman nakal.
Aku ikut tersenyum. Untuk kali ini,
aku tidak akan memberikan komentar apa-apa. Suasana seperti ini sudah terlalu
kurindukan. Yang dapat kulakukan hanya menatap mereka satu per satu dan
tersenyum, lalu kutatap lagi, dan tersenyum lagi. Inikah yang dinamakan
bahagia?
“Sudah kutepati janjiku,” katanya
tiba-tiba saat rombongan yang keributannya hampir menarik perhatian sekuriti
ini meninggalkan bandara. Tangannya masih dalam genggamanku. Langkah kami santai.
Dalam hati, aku memohon agar waktu berjalan lebih lambat lagi. Adegan seperti
ini hanya akan muncul dalam mimpi dan lamunanku selama dua tahun yang baru
kulewati.
Aku mengerutkan dahi tidak mengerti.
Melihat reaksiku, dia berjinjit untuk mencapai telingaku, dan aku secara
otomatis menunduk sedikit untuk memudahkannya. Ah, chemistry di antara kami yang begitu kurindukan tidak hilang
sedikitpun. Senangnya.
Aku hanya tertegun menatap gadis yang
tersenyum manis itu, yang kemudian dengan lincah berlari mengejar rombongan
yang sedang berjalan menuju tempat parkir. Sesekali dia membalikkan badan untuk
melambai padaku, mengisyaratkan agar aku mempercepat langkahku.
“Aku pulang,” gumamku sambil
membetulkan letak kacamata. “Maaf telah membuatmu menunggu,” lanjutku lagi
dengan pandangan yang masih terpaku padanya.
Saat aku akan melangkah, pundakku
tiba-tiba diguncang. Rasa kaget ini hampir saja membuatku meloncat di tempat.
“Sudah sampai,” kata seorang laki-laki
di sampingku.
Perlahan, aku membuka mata, lalu mengangguk
pelan sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Ternyata hanya mimpi. Pesawat
yang kutumpangi baru saja mendarat di Korea Selatan, tempat yang akan menjadi
tempat tinggalku untuk dua tahun ke depan. Mimpi yang indah. Aku hanya bisa
berharap, semoga mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Tetapi, salah satu sudut
pikiranku sangat meragukan hal ini. Menunggu selama dua tahun. Siapa yang rela?
Aku membetulkan letak headphone, yang sejak tadi tidak
kuperhatikan lagu apa yang diputar darinya, kemudian aku mengambil
barang-barangku, dan melangkah mengikuti barisan keluar dari pesawat. Benakku
masih memikirkan mimpi tadi.
Udara dingin yang sama sekali tidak
ramah menyambut kedatanganku. Dengan refleks, aku merapatkan jaket yang
kukenakan. Jaket yang dia berikan saat mengantarku ke bandara tadi. Hadiah untuk
dua tahun ini, katanya. Aku menyengir saat mengingat kembali adegan tadi. Jadi
maksudnya, selama dua tahun ini tidak akan ada hadiah lain lagi?
Aku memasukkan tangan kanan ke dalam
saku jaket. Ternyata udara musim dingin itu seperti ini. Begitu menusuk tulang.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, aku sendirian di negara asing. Tiba-tiba rasa
khawatirku tentang apa yang akan terjadi setelah dua tahun kembali menghantui
pikiranku. Bagaimana kalau mimpi benar-benar hanya mimpi belaka? Di saat aku
pulang setelah menyelesaikan studiku, apakah kami masih bisa seperti dulu? Apakah
dia akan menunggu?
Aku hanya bisa menyesali keraguanku
untuk bertanya padanya. Hingga saat aku menghilang dari pandangannya tadi,
masih belum kukatakan bahwa aku berharap dia menungguku. Tetapi, permintaan
seperti ini, sangat egois, bukan?
Pikiranku kembali tenggelam dalam
perdebatan yang terjadi setiap hari selama beberapa hari ini. Perdebatan yang
tiada akhir. Hingga tanganku merasakan ada sesuatu di dalam saku yang
seharusnya kosong itu. Kwitansi pembelian jaket ini, kah? Sebuah ide aneh
muncul dalam benakku. Tetapi, sesuai sekali dengan sifatnya yang suka memberi
kejutan. Otaknya merupakan sarang dari ribuan ide yang tidak dapat dipikirkan
orang lain.
Dengan tangan yang mulai menggigil,
aku keluarkan selembar kertas putih yang dilipat empat. Ini pasti tulisannya,
pikirku sambil membuka lipatannya, saat aku menyadari coretan kaku itu adalah
tulisan dalam bahasa Korea. Dia tidak pernah mau belajar bahasa Korea. Nggak
minat, katanya.
Hatiku berdetak lebih kuat sejenak
ketika deretan tulisan itu ditangkap indera penglihatanku.
기다릴게[2]
Darah dalam tubuhku seakan mengalir lebih cepat. Badan
yang tadinya hampir menggigil kini terasa begitu hangat, dari lapisan kulit
paling luar hingga ke organ-organ dalam tubuh. Pernahkah kau merasakan seperti
ini? Seperti akan demam tinggi dan harus segera berobat ke dokter.
Tiba-tiba, mataku terasa basah. Ah, tidak boleh.
Jangan sampai menangis di depan orang seramai ini. Aku terus mengerjapkan dan
membesarkan mataku, berusaha menghilangkan air mata yang bisa terjatuh setiap
saat.
Oh
baby say goodbye, for a short while goodbye.
The talk about goodbye, I’ll put it aside for a short while.
I’ll go back to the place
When I once was
The talk about goodbye, I’ll put it aside for a short while.
I’ll go back to the place
When I once was
When
I open that door and take one step
so that I can stand in front of you who i missed
so that I can stand in front of you who i missed
My
heart that loved you
my eyes that looked at you
I’ll wait.
my eyes that looked at you
I’ll wait.
Sebuah senyuman terbentuk dengan sendirinya di
wajahku. Benar-benar hadiah terbaik untuk dua tahun ini. Hadiah yang dapat
menghangatkan badanku, sedingin apapun udara di luar. Hadiah yang dapat menghangatkan
pikiranku, sedingin apapun dunia luar.
Aku menengadahkan kepala dan menatap langit.
Hei, apakah kau juga sedang melihat langit ini? Terima
kasih. Meskipun kesediaanmu untuk menungguku hanya dapat kubalas dengan
mengizinkanmu untuk menunggu, kumohon, tunggulah. Nantikanlah kepulanganku. Penantianmu
adalah dorongan terkuat bagiku untuk terus maju. Tetapi, tenanglah. Aku akan
segera pulang. Tenanglah, sebab kau tidak perlu menunggu lama. Dua tahun, tidak
berarti apa-apa bagi kita yang akan bersama selamanya.
after
time passed by when I meet you
I will tell you that I missed you
I will tell you that I missed you
Sunday, 23 September 2012
Graduation "Thanks to" Part 1: Lecturers
I couldn't have graduated if it was not for the help from these whom I am going to list...
My thanks to..
Thank you to my lecturers.. Dosen-dosen STTI yang keren-keren. Bu Heti, Bu Fitri, Bu Liza, Bu Ela, Bu Dwi, Bu Siti, Pak Icak, Pak Andi, Pak Toha, dan semua dosen lainnya, pernah mengajar saya, baik yang menyebalkan atau tidak. Thank you for teaching me, for giving me all those knowledge, pdf and ppt files, assignments, stress, and everything else.
Khususnya kepada dosen-dosen yang sudah menemani saya, mengobrol dengan saya tentang ini itu, I am going to miss our time together.
Bu Heti, dosen pertama saya, sebab kelas pertama saya adalah kelas algoritma Ibu. Ibu juga dosen pembimbing KP saya, dosen penguji prasidang skripsi saya, dosen pertama yang membuat saya merasa "Ah, I enjoy coming to campus just to chat with this lecturer." Terima kasih banyak, bu... I'll miss you...
Lalu, bu Fitri.. Dosen, yang menurut saya, paling keren di kampus. No offense untuk dosen lainnya. BUT! Ini dosen, sudahlah ada playlist Super Junior, dengar lagu-lagu BoA, update status FB dengan bahasa Jepang dan Korea, and.. Guess what? Sensei yang satu ini punya KAKAO TALK! AND! You know apa statusnya di KaTalk? "Sexy, Free & Single"!!! She's just plain cool! OK, mungkin persepsi saya tentang kerennya dosen satu ini sangat terpengaruh oleh SJ. But, hey, ini satu-satunya dosen yang saya panggil "Ibu", "Sensei", dan "Seonsaeng-nim".. Percakapan, sms, chatting di antara kami itu campur aduk bahasa Indonesia, Inggris, Korea, dan Jepang. Keren, kan? Dosen yang sms saya setelah prosesi wisuda, untuk mengucapkan selamat dan "don't forget me", serta pemberian semangat "ganbatte kudasai" dan "hwaiting" dengan huruf g yang berderet-deret. Saranghamnida, seonsaeng-nim!
Bu Ela, dosen sidang KP saya yang juga bertanggung jawab atas perpustakaan kampus. "Bu, nanti saya datang ke perpus lagi, ya.." Itu kalimat yang tiap kali saya ucapkan saat meninggalkan perpus, baik karena mau pulang atau karena ada mata kuliah. Waktu wisuda juga, ibu tidak lupa mengucapkan "Nanti ke perpus lagi ya.." Ibu, do you know how much that means to me? I'll miss you too...
Bu Liza, dosen pembimbing skripsi saya, yang bersedia menunggu, membimbing saya sampai lewat jam pulangnya. Dosen yang langsung SMS dan Whatsapp saya begitu ada berita apa-apa tentang sidang dan lainnya. Yes, that's right! Whatsapp! Dosen saya yang satu ini pake Whatsapp! Mantap, kan? Dosen yang selalu bilang, "Ah, kan Lidya. Bisa dipercaya, dong." Terima kasih atas dorongan semangatnya, bu!
Bu Dwi, dosen yang selalu selalu selalu tersenyum, dosen yang paling mudah tertawa.. Dosen yang selalu membantu saya, tanpa saya meminta.. benar-benar selalu loh.. Dosen yang ga pernah marah walaupun saya ganggu.. Iya, satu-satunya dosen yang saya ganggu saat sedang menunggu jemputan atau nggak ada kerjaan.. Nongol di ruangannya tiba-tiba, lalu duduk dan nggak pergi-pergi.. Bu, I'll miss our time together.. titip salam untuk kura-kura imut itu, ya, bu~~
Thank you to all my lecturers, each and everyone of you.. Thank you so very much! Terima kasih untuk semua dosen-dosen saya!
My thanks to..
To My Lecturers, dosen-dosen STTI
Thank you to my lecturers.. Dosen-dosen STTI yang keren-keren. Bu Heti, Bu Fitri, Bu Liza, Bu Ela, Bu Dwi, Bu Siti, Pak Icak, Pak Andi, Pak Toha, dan semua dosen lainnya, pernah mengajar saya, baik yang menyebalkan atau tidak. Thank you for teaching me, for giving me all those knowledge, pdf and ppt files, assignments, stress, and everything else.
Khususnya kepada dosen-dosen yang sudah menemani saya, mengobrol dengan saya tentang ini itu, I am going to miss our time together.
Bu Heti, dosen pertama saya, sebab kelas pertama saya adalah kelas algoritma Ibu. Ibu juga dosen pembimbing KP saya, dosen penguji prasidang skripsi saya, dosen pertama yang membuat saya merasa "Ah, I enjoy coming to campus just to chat with this lecturer." Terima kasih banyak, bu... I'll miss you...
Lalu, bu Fitri.. Dosen, yang menurut saya, paling keren di kampus. No offense untuk dosen lainnya. BUT! Ini dosen, sudahlah ada playlist Super Junior, dengar lagu-lagu BoA, update status FB dengan bahasa Jepang dan Korea, and.. Guess what? Sensei yang satu ini punya KAKAO TALK! AND! You know apa statusnya di KaTalk? "Sexy, Free & Single"!!! She's just plain cool! OK, mungkin persepsi saya tentang kerennya dosen satu ini sangat terpengaruh oleh SJ. But, hey, ini satu-satunya dosen yang saya panggil "Ibu", "Sensei", dan "Seonsaeng-nim".. Percakapan, sms, chatting di antara kami itu campur aduk bahasa Indonesia, Inggris, Korea, dan Jepang. Keren, kan? Dosen yang sms saya setelah prosesi wisuda, untuk mengucapkan selamat dan "don't forget me", serta pemberian semangat "ganbatte kudasai" dan "hwaiting" dengan huruf g yang berderet-deret. Saranghamnida, seonsaeng-nim!
Bu Ela, dosen sidang KP saya yang juga bertanggung jawab atas perpustakaan kampus. "Bu, nanti saya datang ke perpus lagi, ya.." Itu kalimat yang tiap kali saya ucapkan saat meninggalkan perpus, baik karena mau pulang atau karena ada mata kuliah. Waktu wisuda juga, ibu tidak lupa mengucapkan "Nanti ke perpus lagi ya.." Ibu, do you know how much that means to me? I'll miss you too...
Bu Liza, dosen pembimbing skripsi saya, yang bersedia menunggu, membimbing saya sampai lewat jam pulangnya. Dosen yang langsung SMS dan Whatsapp saya begitu ada berita apa-apa tentang sidang dan lainnya. Yes, that's right! Whatsapp! Dosen saya yang satu ini pake Whatsapp! Mantap, kan? Dosen yang selalu bilang, "Ah, kan Lidya. Bisa dipercaya, dong." Terima kasih atas dorongan semangatnya, bu!
Bu Dwi, dosen yang selalu selalu selalu tersenyum, dosen yang paling mudah tertawa.. Dosen yang selalu membantu saya, tanpa saya meminta.. benar-benar selalu loh.. Dosen yang ga pernah marah walaupun saya ganggu.. Iya, satu-satunya dosen yang saya ganggu saat sedang menunggu jemputan atau nggak ada kerjaan.. Nongol di ruangannya tiba-tiba, lalu duduk dan nggak pergi-pergi.. Bu, I'll miss our time together.. titip salam untuk kura-kura imut itu, ya, bu~~
Thank you to all my lecturers, each and everyone of you.. Thank you so very much! Terima kasih untuk semua dosen-dosen saya!
We'll Meet Again
Hai, lama sekali tidak berjumpa
denganmu. Sudah berapa tahun sejak kita berpisah? Tujuh? Atau delapan? Waktu
berputar demikian cepat, melesat lewat begitu saja. Dan orang yang selalu
membuatmu khawatir waktu itu, yang selalu berusaha membuatmu tersenyum itu
sekarang sudah sukses. Apakah kamu ikut bangga atas prestasiku ini?
Ujung-ujungnya,
aku mewariskan usaha
keluarga juga, dan lebih cepat dari yang kukira. Hal ini bahkan tidak
pernah
kubayangkan. Murid yang lebih memilih untuk dihukum daripada mengerjakan
tugas.
Murid yang dengan senang hati keluar dari kelas jika diusir oleh guru.
Murid
seperti ini sudah lulus dari universitas ternama dan sekarang menjadi
pengusaha
papan atas yang jarang sekali pulang ke kampung halamannya ini. Apakah
kau masih ingat saat aku menceritakan semua kekesalanku dan
ketidakinginanku untuk melanjutkan usaha keluarga? Aku masih ingat, kau
hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala.
Kau tahu? Aku sering memikirkanmu
setelah kita berpisah. Hubungan kita saat itu, aku rasa, dapat dikatakan
berpacaran? Meski tidak ada dari kita berdua yang mengakuinya, tetapi perasaanku tidak
salah, kan? Kalau tidak, mengapa kau bersedia memberikan morning call setiap
hari hanya karena takut aku akan terlambat ke sekolah? Memperhatikan apakah
waktu istirahatku cukup? Selalu mengingatkanku tugas-tugas yang harus
kukerjakan?
When we were young we
did not realise our youth
When we loved we did not realise our love for each other
But now returning to the past
Back then we were that young, and loved that way
When we loved we did not realise our love for each other
But now returning to the past
Back then we were that young, and loved that way
Masa-masa muda yang indah, bukan? Saat itu, kau bahagia, kan?
Kau masih ingat saat malam
perpisahan? Aku memintamu untuk menghadiri acara itu bersamaku, di hadapan
teman-teman yang lain. Kau langsung mengangguk, dengan senyuman lebar di
wajahmu. Yang lainnya sudah terbiasa, bagi mereka, kita hanya sahabat karib
yang melawan pendapat umum bahwa tidak ada cowok dan cewek yang dapat menjadi
teman baik. Tetapi, sebenarnya, dalam hati, kau benar-benar menerima ajakanku dengan senang hati. Betul, kan?
Most of the memories
have gone with the tear-filled river of time
Slowly flowing away
But now returning to the past
The youth and love of the past was so precious
Slowly flowing away
But now returning to the past
The youth and love of the past was so precious
Saat kau, bersama yang lain,
mengantarku ke bandara, kata-kata terakhir yang kukatakan padamu, apakah kau
masih ingat? Bahwa aku masih menunggu jawabanmu. Iya, sudah berkali-kali aku
menyatakan perasaanku. Dan setiap kali, kau menolakku. Tetapi, karena aku yang
tidak putus asa itulah yang membuat hari-hari itu demikian indah, bukan?
Saat
itu aku berpikir, kau pasti akan menerimaku jika aku berhasil meraih
sesuatu yang dapat kaubanggakan. Karena aku yang muda bukanlah seseorang
yang mempunyai prestasi apapun, itulah alasan kau menolakku. Alasan
yang kupikir, yang kutebak sendiri dalam hatiku. Penyesalanku yang
paling besar adalah tidak
menanyakan mengapa, mengapa kau menolakku. Sebab aku kira, saat kita
bertemu lagi, kau pasti akan dengan senang melihat perubahan yang
terjadi pada diriku.
Seperti yang kau katakan, kita bertemu lagi, setelah aku berjuang bertahun-tahun. Aku di sini dan kau di hadapanku dengan senyumanmu itu. Tetapi, sayangnya, senyuman manis itu hanyalah sebuah foto di batu nisan tempat kau beristirahat untuk selamanya.
Seperti yang kau katakan, kita bertemu lagi, setelah aku berjuang bertahun-tahun. Aku di sini dan kau di hadapanku dengan senyumanmu itu. Tetapi, sayangnya, senyuman manis itu hanyalah sebuah foto di batu nisan tempat kau beristirahat untuk selamanya.
Selama hari-hari itu, penyakit ini
telah membuatmu menderita, bukan? Kau selalu bertahan, kau begitu tegar. Kau
telah berusaha sebaik mungkin untuk berdiri di hadapan kita dengan senyuman
hangatmu. Hingga akhirnya, kau pergi dari dunia ini. Mengapa kau tidak bercerita sama sekali?
Hei,
kau tahu? Kata-katamu di bandara masih
terngiang di telingaku, setelah sekian lama. Dan aku rasa, kata-kata itu
akan terus melekat di hatiku. Sampai jumpa di pertemuan kita
selanjutnya.
“Thank
you for everything. Someday, we’ll meet again.”
Someday, we will meet
again
Even though we don’t know where we will go
Someday, we will meet again
With already separated identities…
Even though we don’t know where we will go
Someday, we will meet again
With already separated identities…
=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: Someday By Super Junior
Post #8 of #30HariLagukuBercerita
Post #8 of #30HariLagukuBercerita
Thursday, 20 September 2012
Promise
Anda tidak dapat membayangkan betapa
beratnya perasaanku saat ini, saat aku berjalan menyusuri koridor menuju ke
ruangan itu. Iya, kembali ke ruangan itu lagi setelah jalan pagi yang sama
sekali tidak berhasil mengubah suasana hatiku. Cuaca di luar yang cerah,
burung-burung yang berkicau, dan angin sepoi-sepoi yang biasanya menyejukkan sama
sekali tidak berpengaruh pada hujan badai di dalam sini.
Rencanaku untuk memperbaiki suasana
hati sebelum operasi sore nanti gagal total. Belum lagi keluargaku yang sejak
tadi keluar, hingga sekarang belum tampak juga. Akhirnya, di hari yang penting
ini, aku ditinggal sendiri. Sendirian menghitung mundur waktu yang tersisa, di
ruangan putih dengan bau obat yang menyesakkan itu. Tidak ada orang yang
menemani, tanpa keluarga, tanpa teman, dan tanpa dia…
Terakhir kali aku melihatnya adalah
kemarin sore. Seperti biasa, dia datang menjengukku begitu selesai kerja;
rutinitasnya selama satu bulan belakangan ini. Tetapi kemarin, dia pergi begitu
saja setelah membicarakan sesuatu dengan orang tuaku di luar ruangan. Aku tidak
dapat mendengar apa yang mereka bincangkan, hanya dapat menebak berdasarkan
gerakan bibir mereka dan ekspresi, tetapi tanpa membawa hasil apapun. Yang
kutahu, hanyalah raut wajah orang tuaku yang sedih dan kecewa setelah dia pergi
meninggalkan mereka.
“Ada apa?” tanyaku saat mereka memasuki
ruangan.
“Yola, kamu harus tegar untuk
operasi besok, ya. Apapun yang terjadi, orang tua dan keluargamu ini akan selalu
ada di sisimu.”
Jawaban dari mereka membuatku
tertegun. Mungkin karena terlalu lama menginap di rumah sakit, aku menjadi
terbiasa menegaskan maksud dari setiap kata dari kalimat yang diucapkan orang
lain.
Apa maksud dari orang tua dan
keluarga? Bagaimana dengan dia? Dia yang selalu mengulangi kata-kata penuh
harapan padaku. Dia yang selalu mengatakan bahwa akan senantiasa berada di sini
untukku. Dia yang selalu berjanji bahwa dia akan menemaniku melewati segala
rintangan dalam hidup. Dia sudah pergi, kah?
Aku menertawakan diriku sendiri
semalaman, diiringi air mata yang terus mengalir tanpa bisa kutampung. Bukankah
ini yang selalu dikatakan orang lain? Kamu akan melihat siapa yang benar-benar
mengasihimu di saat kamu memerlukan mereka. Orang-orang di sekitarku sering
mengingatkanku agar lebih waspada, bahwa dia mungkin mendekatiku hanya karena
latar belakang keluargaku yang lebih sepadan dengannya, bahwa hubungan kami
hingga saat ini berjalan dengan terlalu lancar, bahwa kami tidak akan dapat bertahan
jika dihadapi dengan cobaan.
Ternyata benar. Aku rasa, dia hanya
menunggu waktu. Mungkin, saat aku divonis hanya tersisa beberapa bulan untuk
hidup, dia sudah ingin melepaskan diri dari hubungan yang tidak akan berakhir
bahagia ini. Kehidupannya dapat dikatakan sempurna, dan seorang perfeksionis
seperti dia pasti tidak akan mengizinkan hal seperti ini menodai kehidupannya
itu.
Bodoh sekali aku mempercayai setiap
janjinya. Ah, biarkan saja. Lagipula setelah hari ini, semuanya akan berakhir.
Menurut dokter, kemungkinan berhasilnya operasi hari ini hanya 40 persen. Kalau
berhasil, baguslah. Kalau tidak, sudahlah. Aku hanya ingin meminta maaf pada
orang tuaku karena telah menyusahkan mereka. Begitu saja.
Tetapi, kata operasi memang
menakutkan. Tanganku gemetar dengan kuat saat aku membuka pintu kamar dari
ruangan yang menyesakkan itu. Tanganku tidak kuat, tampaknya aku perlu bantuan
perawat yang lewat untuk…
Lho, pintunya terbuka sendiri?
Dengan perasaan was-was, aku
memasuki kamar. Seisi ruangan gelap, tidak seperti biasanya. Dan aku masih
ingat, lampu tidak kumatikan saat aku keluar tadi. Tetapi, ini…
“SURPRISE!”
Sahutan kata ini memenuhi ruangan, seseorang memelukku dari belakang, dan lampu
menyala. Ruangan ini kembali terang. Dan di atas jendela, tepat di hadapanku, tergantung
sederet kalimat “We’ll wait for you. Get
well soon!”
Aku membalikkan tubuhku. Ah,
ternyata adikku. Tentu saja adikku. Siapa lagi yang kuharapkan? Aku melihat
sekeliling ruangan. Keluarga dan teman-teman dekatku melontarkan senyuman manis
mereka. Ternyata keluargaku merencanakan ini sejak awal. Aku salah, aku tidak
sendirian.
“Terima kasih,” kataku sambil duduk
di atas ranjang. “Terima kasih juga sudah susah payah merencanakan kejutan ini
dan merahasiakannya dariku. Sejak kapan kalian membuat ini? Memangnya ada
waktu?”
Pertanyaan demi pertanyaan aku
lontarkan pada mereka yang hadir sambil kutatap satu per satu. Ya, tidak ada
dia.
“Sejak semalam. Tetapi bukan kami
yang rencanakan,” jawab adikku.
Keningku berkerut. “Lalu…”
Belum sempat kuselesaikan kalimatku,
pintu terbuka lagi. Dan dia masuk, dengan seikat bunga di tangan.
Aku dapat merasakan wajahku memanas,
mulutku terbuka dengan sendirinya, dan sekujur tubuhku menegang saat dia
mendekat.
“Apa…”
Lagi-lagi aku tidak dapat
menyelesaikan kalimatku. Dia meletakkan jari telunjuknya di depan bibirku.
“Promises
are made to be kept, because they should be. Itu kalimat kesukaanmu, bukan?
Janji harus ditepati.”
Meski aku tidak dapat menebak tujuan
dari kalimat yang diucapkannya ini, aku tetap mengangguk. Memang benar, ini
kalimat yang paling sering kukatakan.
“Jadi, aku ke sini untuk memenuhi
janjiku. Untuk tetap berada di sisimu, menemanimu menghadapi segala cobaan,
menjadi selimutmu saat kamu kedinginan, menjadi bantalmu saat kamu letih.” Dia
tersenyum. Senyuman hangat yang mampu mencairkan apapun. “Tetapi, aku tidak mau melakukan itu dengan begitu saja. Semua itu
akan kulakukan dengan suka rela asalkan kamu memberiku sebuah status. Boyfriend, pacar, atau sejenisnya itu
tidak ada maknanya. Aku ingin status yang jelas," lanjutnya sambil menatap lurus padaku.
Through
rain and snow I'll cherish you (I do)
I'll take care of you (My love)
I'll take care of you (My love)
Dia mengucapkan kalimat terakhirnya
dengan tegas, sembari mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku tertegun saat
melihat benda bersinar yang terpajang dalam kotak kecil itu.
“Kamu yakin?” tanyaku. “Aku tidak
tahu kapan aku akan meninggalkan dunia ini. Operasi hari ini juga, kemungkinan
gagalnya lebih tinggi. Lagipula, kalaupun berhasil, aku mungkin masih harus
terus datang berobat ke rumah sakit. Dan juga…”
Sekali lagi kalimatku terpotong. Dia
mendecak lidahnya sambil menggeleng.
Even
though we'll age, I want to live each day smiling
Would you marry me?
Will you be my everything?
Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)
Would you marry me?
Will you be my everything?
Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)
“Kamu pikir terlalu jauh, khawatir
terlalu banyak, dan tingkat kepercayaan dirimu turun terlalu drastis. Pantas
saja kamu jatuh sakit seperti ini,” katanya sambil terus tersenyum.
Aku
hanya terdiam, melongo melihat laki-laki di hadapanku itu. Dia masih
bisa
bercanda di situasi seperti ini. Yang benar saja. Tetapi, memang
begitulah orangnya. Ini juga salah satu alasan aku begitu terpesona,
begitu menikmati saat-saat yang kami lewati bersama.
“Apapun yang terjadi,” lanjutnya. “Aku
akan tetap ada di sini. Yang perlu kamu lakukan hanya mengangguk kepalamu
sekarang.”
All I
have to give you is my love
That's all I've got to offer
That's all I've got to offer
Perlahan,
aku lakukan apa yang dia katakan. Sebuah anggukan kepala yang membuat
senyumannya mengembang semakin lebar. Semua yang hadir dalam ruangan
bersorak, bertepuk tangan, dan kurasa,
beberapa dari mereka menangis.
Sebenarnya, aku dapat menahan air
mataku. Tetapi saat dia mendekat dan mengenakan cincin itu di jariku, kata-kata yang
dibisikkannya membuat butiran-butiran bening itu terjatuh begitu saja.
“Cincin ini bukan cincin biasa. It’s a promise. Jadi, kamu harus
melewati operasi hari ini. Itu janjimu padaku. Aku sudah berjanji pada Mia
bahwa aku akan membawamu ke salon fotonya minggu depan. Jangan membuat aku
tidak tepat janji.”
Dia menjauhkan kepalanya, lalu
mengangkat jari kelingkingnya ke hadapanku.
“Come
back safely. Promise?”
Dengan senyuman bahagia, aku mengangguk lagi sambil mengaitkan
jariku pada jarinya.
Will
you promise me just one thing?
No matter what happens
We'll always love each other... That's all
Will you marry me?
I do
No matter what happens
We'll always love each other... That's all
Will you marry me?
I do
=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: Marry U By Super Junior
Post #7 of #30HariLagukuBercerita
Post #7 of #30HariLagukuBercerita
=============
Marry U - Super Junior
(Rap) Love~ Oh baby my girl~
You're my everything, your beauty blinds me
My bride, my present from the heavens above
Are you happy? There's tears flowing from your eyes
Until the day your black hair turns grey
I promise to love you forever
I want to tell you every single day that "I love you"
Would you marry me?
I want to live loving you and cherishing you
I want to put you to sleep in my arms every night
Would you marry me?
Will you give my heart this permission?
*I'll stay next to you for the rest of my life (I do)
I love you (I do)
Through rain and snow I'll cherish you (I do)
I'll take care of you (My love)
(Rap) You in a white dress, me in a tuxedo
We walk step in step underneath the moon
I swear, I hate lies, I hate distrust
My princess, my love, stay with me
[ Lyrics from: http://www.lyricsmode.com/lyrics/s/super_junior/marry_u_english.html ]
Even though we'll age, I want to live each day smiling
Would you marry me?
Will you be my everything?
**Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)
All the many days we'll spend together (I do)
I'm going to be thankful each and every day (My Love)
I prepared this for you since long ago
Please take this shiny ring in my hand
I'll remember this promise we shared with the same heart
Would you marry me?
*I'll stay next to you for the rest of my life (I do)
I love you (I do)
Through rain and snow I'll cherish you (I do)
I'll take care of you (My love)
**Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)
All the many days we'll spend together (I do)
(Rap) All I have to give you is my love
That's all I've got to offer
I know I lack many things but not my love
I'll look out and take care of you
Will you promise me just one thing?
No matter what happens
We'll always love each other... That's all
Will you marry me?
I do
You're my everything, your beauty blinds me
My bride, my present from the heavens above
Are you happy? There's tears flowing from your eyes
Until the day your black hair turns grey
I promise to love you forever
I want to tell you every single day that "I love you"
Would you marry me?
I want to live loving you and cherishing you
I want to put you to sleep in my arms every night
Would you marry me?
Will you give my heart this permission?
*I'll stay next to you for the rest of my life (I do)
I love you (I do)
Through rain and snow I'll cherish you (I do)
I'll take care of you (My love)
(Rap) You in a white dress, me in a tuxedo
We walk step in step underneath the moon
I swear, I hate lies, I hate distrust
My princess, my love, stay with me
[ Lyrics from: http://www.lyricsmode.com/lyrics/s/super_junior/marry_u_english.html ]
Even though we'll age, I want to live each day smiling
Would you marry me?
Will you be my everything?
**Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)
All the many days we'll spend together (I do)
I'm going to be thankful each and every day (My Love)
I prepared this for you since long ago
Please take this shiny ring in my hand
I'll remember this promise we shared with the same heart
Would you marry me?
*I'll stay next to you for the rest of my life (I do)
I love you (I do)
Through rain and snow I'll cherish you (I do)
I'll take care of you (My love)
**Through hardships and troubles (I do)
I'll always be there (I do)
All the many days we'll spend together (I do)
(Rap) All I have to give you is my love
That's all I've got to offer
I know I lack many things but not my love
I'll look out and take care of you
Will you promise me just one thing?
No matter what happens
We'll always love each other... That's all
Will you marry me?
I do
Lyrics credit: lyricsmode.com
Monday, 17 September 2012
To Be Continued?
Aku bergegas menuju ruang auditorium di gedung
E yang jaraknya puluhan meter dari kantin tempatku berada. Sebagai mahasiswi
biasa, alias yang tidak pernah aktif dalam acara apapun di kampus, tentu saja
aku tidak pernah mengecek apakah kampus akan mengadakan acara. Alhasil,
kehadiran mereka di kampuspun tidak kuketahui.
Mereka, adalah alumni yang lulus tahun lalu.
Bedanya, mereka juga adalah band pertama dari kampus yang berhasil membawa
pulang piala-piala dalam berbagai lomba selama mereka menjadi mahasiswa di
sini. Spesialnya, salah satu anggota mereka, leader dari band itu lebih tepatnya, adalah kakak kelasku sejak SMA
dulu. Orang yang telah lama kuperhatikan dari jauh, sebab hanya itu yang dapat
kulakukan.
Aku bukan orang yang menonjol di kampus. Yang kulakukan
hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Bersosialisasi juga tidak
termasuk dalam daftar rutinitasku. Jadi, dapat dikatakan aku hanya salah satu
dari sekian banyak mahasiswa di kampus. Demikian tingkat keberadaanku di
kampus.
Semua ini membuat pikiran “hanya bisa
melihatnya dari jauh” berakar dalam benakku. Dia tidak akan, dan tidak perlu
tahu bahwa aku merupakan salah satu dari mereka yang berdiri di bawah panggung,
melihatnya dengan jantung berdebar-debar. Bagiku, mendukungnya seperti ini saja
sudah cukup. Dan dia juga tidak perlu tahu, bahwa aku mendaftarkan diri dan
berusaha keras untuk bisa masuk ke universitas ini juga karena dia. Meskipun
akhirnya, sampai saat dia diwisuda juga aku belum pernah mengucapkan sepatah
katapun padanya. Dengan demikian, cerita di antara aku dan dia sudah dicap ‘the end’ sebelum bab pertama sempat
ditulis.
Perlahan, aku mendorong pintu auditorium yang tertutup
rapat. Pandanganku langsung tertuju ke arah panggung. Ah, dia ada di sana,
duduk di tepi sambil bercanda dengan mereka yang mengerumuninya di depan
panggung.
Aku telat. Salahku sendiri tidak meninggikan antenaku
hingga terlambat menerima informasi bahwa mereka akan tampil di acara yang
diadakan kampus Sabtu ini. Dan ternyata mereka sudah melakukan gladi sejak
beberapa hari yang lalu. Jadi, dapat dikatakan bahwa aku cukup beruntung mereka
melakukan gladi sekali lagi hari ini. Sudahlah, paling tidak, melihatnya seperti ini bisa dimasukkan ke dalam prolog cerita kami, bukan?
Dia terus mengobrol dengan senyuman di
wajahnya. Senyuman yang dilihat dari jarak demikian jauh saja bisa membuat
jantungku berdebar tidak karuan. Sekali-kali dia tertawa lepas. Suara tawanya
menggelitik sarafku, membuatku ikut tersenyum-senyum. Ah, dapat kurasakan
mukaku memanas. Akhirnya, aku bisa berjumpa lagi dengannya. Dalam hati, aku
merasa bersyukur memilih untuk melanjutkan studiku di kampus ini, yang berarti
menolak beasiswa untuk kuliah di kampus lain. Paling tidak, aku dapat
melihatnya seperti ini.
“Rian!” panggil salah satu anggota band yang
sejak tadi berdiri di atas panggung.
Mendengar namanya dipanggil saja dapat
membangunkan seluruh inderaku. Ya, aku sangat sensitif pada namanya. Setiap
kali seseorang menyebut nama yang mirip sekalipun, baik “Lian”, “Tian, ataupun
“Dian”, aku pasti refleks menoleh ke arah sumber suara. Tetapi tidak kali ini.
Mataku tetap terpaku pada sosok yang menoleh ke belakang untuk melihat
temannya. Aku seakan terhipnotis olehnya.
Wajahnya jika dilihat dari sebelah kiri ternyata
begitu menarik perhatian. Aku mulai terjerumus lagi dalam lubang imajinasiku
sebelum orang yang kutatap berpaling dan melihat ke arahku.
Tunggu dulu! Dia melihat ke arahku? Dia melihat
ke arahku!
Spontan, aku menunduk kepala dan menatap lantai
cokelat yang tiba-tiba menjadi begitu menarik. Tidak, aku tidak akan menaikkan
kepalaku hingga aku seratus persen yakin dia tidak melihat ke sini lagi. Meskipun
dapat kupastikan bahwa yang dilihatnya bukan diriku, bisa saja orang di
sampingku, atau pintu di belakang sana, atau kursi kosong, atau apa saja.
Pokoknya bukan aku. Semoga saja bukan aku yang memberikan reaksi memalukan ini.
Benar-benar tiada obat bagi diriku ini. Mengapa
aku tidak melambaikan tanganku? Atau meneriakkan namanya? Atau paling tidak
tersenyum saja padanya? Mengapa aku menundukkan kepalaku secepat itu? Refleksiku
tidak pernah secepat ini kalau terjadi hal-hal yang lain. Bodoh.
Sesaat kemudian, terdengar bunyi ketukan drum
dan suara gitar dari speaker. Lalu, tentu saja, sebagai lead vocal, suaranya mulai memenuhi ruangan ini.
You're
insecure,
Don't know what for,
You're turning heads when you walk through the door,
Don't need make-up,
To cover up,
Being the way that you are is enough,
Don't know what for,
You're turning heads when you walk through the door,
Don't need make-up,
To cover up,
Being the way that you are is enough,
Akhirnya aku mengangkat kepalaku dan membiarkan
indera penglihatan dan pendengaranku menikmati momen ini. Ternyata lagu ini
yang dibawakan mereka saat tampil nanti, di acara yang tidak dapat kuhadiri
itu. Aku baru mendapat informasi tentang acara itu tadi pagi, dan tentu saja,
tiket masuk sudah terjual habis. Yang dapat kulakukan hanya mengutuki diriku
sendiri, sebelum mengetahui mereka akan latihan lagi hari ini.
Everyone
else in the room can see it,
Everyone else but you,
Everyone else but you,
Aku berlari maju untuk bergabung dengan
rombongan yang memenuhi bagian depan panggung. Tanganku ikut berayun di udara,
senyumanku mengembang dengan sendirinya, meskipun debaran di jantungku hanya
mereda sedikit. Dia tampil dengan begitu menawan, seperti biasa. Dia begitu
menikmati dirinya di atas panggung. Bisa melihat dirinya seperti ini saja sudah
cukup. Tetapi, bagaimana rasanya kalau bisa lebih dekat lagi?
Baby
you light up my world like nobody else,
The way that you flip your hair gets me overwhelmed,
But when you smile at the ground it ain't hard to tell,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
The way that you flip your hair gets me overwhelmed,
But when you smile at the ground it ain't hard to tell,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
Aku masih berkeluyuran di dalam auditorium
setelah gladi selesai dan semua orang meninggalkan ruangan. Perlahan, aku
menaiki tangga di samping. Langkahku mengantarku ke atas panggung, dan tanpa
kusadari, aku duduk tepat di tempat yang dia duduk tadi, saat aku memasuki
ruangan.
Ah, ternyata ini rasanya duduk di sini. Aku
melihat ke sekeliling ruangan dan berusaha membayangkan keadaan tadi, saat
orang-orang berdiri di sekitar panggung. Aku seakan dapat melihat apa yang
dilihatnya, merasakan apa yang dapat dirasakannya. Aku memejamkan mata, menikmati
detik-detik ini, sebab aku tidak tahu kapan bisa bertemu dengannya lagi.
“Kamu sedang apa?”
Sebuah suara yang muncul tiba-tiba membuat
mataku terbelalak lebar. Suara ini. Aku tahu suara ini. Tetapi, apakah iya?
Bukankah dia sudah pulang?
“Apa yang sedang kamu lakukan di sana?” tanya suara itu lagi.
Jantungku berhenti berdetak untuk sesaat.
Sekarang aku yakin siapa pemilik suara ini! Dia!
Suara dia begitu dekat. Dia di belakangku? Ya
ampun. Apa yang harus kulakukan? Debaran jantungku sudah tidak lagi dapat
kukendalikan. Mukaku mulai memanas. Dan dalam sekejap saja, seluruh tubuhku
juga terasa panas.
“Mengapa belum pulang?” tanyanya sambil duduk
di sampingku.
Napasku tercekat. Aku bahkan tidak dapat
mengerjapkan mataku. Aku ingin sekali menoleh dan tersenyum padanya, tetapi
tidak bisa. Seluruh tubuhku menegang!
“Kamu…”
Dia mulai bersuara lagi. Dan kali ini aku dapat
merasakan tatapannya. Ah, bagaimana ini?
“Kamu bisa bicara, kan?”
Seketika, suasana berubah 180 derajat.
Keteganganku hilang lenyap dalam hitungan sepersekian detik. Yang benar saja!
Pertanyaan seperti apa ini?
“Tentu saja!” jawabku tanpa pikir panjang. Aku
menoleh dan sepasang mata hitamnya yang begitu memesona sedang melihat ke arahku.
Sebuah senyuman terbentuk di wajahnya.
Ah, senyuman itu. Aku refleks memalingkan wajahku
lagi. Dari dulu, aku memang tidak dapat memandangnya seperti ini, tepat pada
matanya. Setiap kali dia melihatku, aku pasti mengalihkan pandanganku ke tempat
lain.
Tunggu. Setiap kali? Rasanya ada yang salah
dengan kalimat terakhir yang muncul dalam benakku tadi. Sesering itukah dia
melihat ke arahku?
So
c-come on,
You got it wrong,
To prove I'm right,
I put it in a song,
I don't know why,
You're being shy,
And turn away when I look into your eye eye eyes.
You got it wrong,
To prove I'm right,
I put it in a song,
I don't know why,
You're being shy,
And turn away when I look into your eye eye eyes.
Dia mendecak lidah. “Kamu masih ingat kamu
pernah membawakan seseorang sebuah tas gitar waktu SMP dulu?”
Aku mengernyit. Sepertinya pernah, sepertinya
tidak. Mana mungkin aku ingat? Kejadian tahun lalu saja belum tentu masih
berbekas dalam otakku. Mengapa dia bertanya begitu?
Dia menghela napas. “Atau kamu masih ingat kamu
pernah meminjamkan seseorang payung?”
Kerutan di keningku semakin dalam. Aku memang
pernah meminjamkan payung pada orang lain, dan itu bukan hanya seseorang.
Banyak! Dari sekian banyak itu, hampir tidak ada yang mengembalikan payungku!
Sekali lagi dia menghela napas. Kali ini,
terdengar agak kesal. “Kamu Erlin atau bukan, sih?”
Aku tertegun. Bagaimana dia tahu namaku? Tahu
dari mana?
“Ah, ya atau bukan. Nggak perlu jawab. Angguk
saja kalau benar.” Suaranya terdengar pasrah.
Dengan susah payah, aku menganggukkan kepalaku
yang mulai menegang lagi. Sekujur tubuh ini juga mulai membeku. Payah aku.
“Erlin yang pernah memainkan piano saat
perpisahan SMP dan SMA dulu?” tanyanya lagi.
Ah, dia sudah memerhatikanku sejak SMP! Tunggu.
SMP? Memangnya dia kakak kelasku saat SMP juga?
“Ya atau bukan?” desaknya.
Aku mengangguk kaku. Dalam benakku muncul
terlalu banyak pertanyaan untuk diproses satu per satu.
“Kalau begitu, aku benar,” katanya. Suaranya
terdengar riang. “Untung aku menyuruh mereka untuk latihan lagi hari ini. Kamu
nggak pernah datang dari kemarin, sih,” lanjutnya.
Hah? Maksudnya? Jadi, dia menanti kehadiranku?
Karena itu dia datang lagi ke kampus hari ini? Benarkah kesimpulanku?
“Ini untukmu,” katanya sambil menyodorkan
selembar kertas.
Ini… Tiket?
“Datang Sabtu ini, ya,” katanya sebelum pergi meninggalkanku
sendiri. Mungkin dia sempat melambai. Mungkin dia berdiri sebentar untuk
menunggu reaksi dariku. Entahlah.
Aku tidak memberi jawaban. Seluruh perhatianku
tertuju pada tiket yang dia letakkan di sampingku. Lama sekali aku menatap
tiket itu. Apakah ini berarti cerita kita dapat dilabel ‘to be continued’?
If only
you saw what I can see,
You'll understand why I want you so desperately,
Right now I'm looking at you and I can't believe,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
Oh oh,
That's what makes you beautiful
=============
You'll understand why I want you so desperately,
Right now I'm looking at you and I can't believe,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
Oh oh,
That's what makes you beautiful
=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: What Makes You Beautiful By One Direction
Post #6 of #30HariLagukuBercerita
Post #6 of #30HariLagukuBercerita
Subscribe to:
Posts (Atom)