Aku bergegas menuju ruang auditorium di gedung
E yang jaraknya puluhan meter dari kantin tempatku berada. Sebagai mahasiswi
biasa, alias yang tidak pernah aktif dalam acara apapun di kampus, tentu saja
aku tidak pernah mengecek apakah kampus akan mengadakan acara. Alhasil,
kehadiran mereka di kampuspun tidak kuketahui.
Mereka, adalah alumni yang lulus tahun lalu.
Bedanya, mereka juga adalah band pertama dari kampus yang berhasil membawa
pulang piala-piala dalam berbagai lomba selama mereka menjadi mahasiswa di
sini. Spesialnya, salah satu anggota mereka, leader dari band itu lebih tepatnya, adalah kakak kelasku sejak SMA
dulu. Orang yang telah lama kuperhatikan dari jauh, sebab hanya itu yang dapat
kulakukan.
Aku bukan orang yang menonjol di kampus. Yang kulakukan
hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Bersosialisasi juga tidak
termasuk dalam daftar rutinitasku. Jadi, dapat dikatakan aku hanya salah satu
dari sekian banyak mahasiswa di kampus. Demikian tingkat keberadaanku di
kampus.
Semua ini membuat pikiran “hanya bisa
melihatnya dari jauh” berakar dalam benakku. Dia tidak akan, dan tidak perlu
tahu bahwa aku merupakan salah satu dari mereka yang berdiri di bawah panggung,
melihatnya dengan jantung berdebar-debar. Bagiku, mendukungnya seperti ini saja
sudah cukup. Dan dia juga tidak perlu tahu, bahwa aku mendaftarkan diri dan
berusaha keras untuk bisa masuk ke universitas ini juga karena dia. Meskipun
akhirnya, sampai saat dia diwisuda juga aku belum pernah mengucapkan sepatah
katapun padanya. Dengan demikian, cerita di antara aku dan dia sudah dicap ‘the end’ sebelum bab pertama sempat
ditulis.
Perlahan, aku mendorong pintu auditorium yang tertutup
rapat. Pandanganku langsung tertuju ke arah panggung. Ah, dia ada di sana,
duduk di tepi sambil bercanda dengan mereka yang mengerumuninya di depan
panggung.
Aku telat. Salahku sendiri tidak meninggikan antenaku
hingga terlambat menerima informasi bahwa mereka akan tampil di acara yang
diadakan kampus Sabtu ini. Dan ternyata mereka sudah melakukan gladi sejak
beberapa hari yang lalu. Jadi, dapat dikatakan bahwa aku cukup beruntung mereka
melakukan gladi sekali lagi hari ini. Sudahlah, paling tidak, melihatnya seperti ini bisa dimasukkan ke dalam prolog cerita kami, bukan?
Dia terus mengobrol dengan senyuman di
wajahnya. Senyuman yang dilihat dari jarak demikian jauh saja bisa membuat
jantungku berdebar tidak karuan. Sekali-kali dia tertawa lepas. Suara tawanya
menggelitik sarafku, membuatku ikut tersenyum-senyum. Ah, dapat kurasakan
mukaku memanas. Akhirnya, aku bisa berjumpa lagi dengannya. Dalam hati, aku
merasa bersyukur memilih untuk melanjutkan studiku di kampus ini, yang berarti
menolak beasiswa untuk kuliah di kampus lain. Paling tidak, aku dapat
melihatnya seperti ini.
“Rian!” panggil salah satu anggota band yang
sejak tadi berdiri di atas panggung.
Mendengar namanya dipanggil saja dapat
membangunkan seluruh inderaku. Ya, aku sangat sensitif pada namanya. Setiap
kali seseorang menyebut nama yang mirip sekalipun, baik “Lian”, “Tian, ataupun
“Dian”, aku pasti refleks menoleh ke arah sumber suara. Tetapi tidak kali ini.
Mataku tetap terpaku pada sosok yang menoleh ke belakang untuk melihat
temannya. Aku seakan terhipnotis olehnya.
Wajahnya jika dilihat dari sebelah kiri ternyata
begitu menarik perhatian. Aku mulai terjerumus lagi dalam lubang imajinasiku
sebelum orang yang kutatap berpaling dan melihat ke arahku.
Tunggu dulu! Dia melihat ke arahku? Dia melihat
ke arahku!
Spontan, aku menunduk kepala dan menatap lantai
cokelat yang tiba-tiba menjadi begitu menarik. Tidak, aku tidak akan menaikkan
kepalaku hingga aku seratus persen yakin dia tidak melihat ke sini lagi. Meskipun
dapat kupastikan bahwa yang dilihatnya bukan diriku, bisa saja orang di
sampingku, atau pintu di belakang sana, atau kursi kosong, atau apa saja.
Pokoknya bukan aku. Semoga saja bukan aku yang memberikan reaksi memalukan ini.
Benar-benar tiada obat bagi diriku ini. Mengapa
aku tidak melambaikan tanganku? Atau meneriakkan namanya? Atau paling tidak
tersenyum saja padanya? Mengapa aku menundukkan kepalaku secepat itu? Refleksiku
tidak pernah secepat ini kalau terjadi hal-hal yang lain. Bodoh.
Sesaat kemudian, terdengar bunyi ketukan drum
dan suara gitar dari speaker. Lalu, tentu saja, sebagai lead vocal, suaranya mulai memenuhi ruangan ini.
You're
insecure,
Don't know what for,
You're turning heads when you walk through the door,
Don't need make-up,
To cover up,
Being the way that you are is enough,
Don't know what for,
You're turning heads when you walk through the door,
Don't need make-up,
To cover up,
Being the way that you are is enough,
Akhirnya aku mengangkat kepalaku dan membiarkan
indera penglihatan dan pendengaranku menikmati momen ini. Ternyata lagu ini
yang dibawakan mereka saat tampil nanti, di acara yang tidak dapat kuhadiri
itu. Aku baru mendapat informasi tentang acara itu tadi pagi, dan tentu saja,
tiket masuk sudah terjual habis. Yang dapat kulakukan hanya mengutuki diriku
sendiri, sebelum mengetahui mereka akan latihan lagi hari ini.
Everyone
else in the room can see it,
Everyone else but you,
Everyone else but you,
Aku berlari maju untuk bergabung dengan
rombongan yang memenuhi bagian depan panggung. Tanganku ikut berayun di udara,
senyumanku mengembang dengan sendirinya, meskipun debaran di jantungku hanya
mereda sedikit. Dia tampil dengan begitu menawan, seperti biasa. Dia begitu
menikmati dirinya di atas panggung. Bisa melihat dirinya seperti ini saja sudah
cukup. Tetapi, bagaimana rasanya kalau bisa lebih dekat lagi?
Baby
you light up my world like nobody else,
The way that you flip your hair gets me overwhelmed,
But when you smile at the ground it ain't hard to tell,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
The way that you flip your hair gets me overwhelmed,
But when you smile at the ground it ain't hard to tell,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
Aku masih berkeluyuran di dalam auditorium
setelah gladi selesai dan semua orang meninggalkan ruangan. Perlahan, aku
menaiki tangga di samping. Langkahku mengantarku ke atas panggung, dan tanpa
kusadari, aku duduk tepat di tempat yang dia duduk tadi, saat aku memasuki
ruangan.
Ah, ternyata ini rasanya duduk di sini. Aku
melihat ke sekeliling ruangan dan berusaha membayangkan keadaan tadi, saat
orang-orang berdiri di sekitar panggung. Aku seakan dapat melihat apa yang
dilihatnya, merasakan apa yang dapat dirasakannya. Aku memejamkan mata, menikmati
detik-detik ini, sebab aku tidak tahu kapan bisa bertemu dengannya lagi.
“Kamu sedang apa?”
Sebuah suara yang muncul tiba-tiba membuat
mataku terbelalak lebar. Suara ini. Aku tahu suara ini. Tetapi, apakah iya?
Bukankah dia sudah pulang?
“Apa yang sedang kamu lakukan di sana?” tanya suara itu lagi.
Jantungku berhenti berdetak untuk sesaat.
Sekarang aku yakin siapa pemilik suara ini! Dia!
Suara dia begitu dekat. Dia di belakangku? Ya
ampun. Apa yang harus kulakukan? Debaran jantungku sudah tidak lagi dapat
kukendalikan. Mukaku mulai memanas. Dan dalam sekejap saja, seluruh tubuhku
juga terasa panas.
“Mengapa belum pulang?” tanyanya sambil duduk
di sampingku.
Napasku tercekat. Aku bahkan tidak dapat
mengerjapkan mataku. Aku ingin sekali menoleh dan tersenyum padanya, tetapi
tidak bisa. Seluruh tubuhku menegang!
“Kamu…”
Dia mulai bersuara lagi. Dan kali ini aku dapat
merasakan tatapannya. Ah, bagaimana ini?
“Kamu bisa bicara, kan?”
Seketika, suasana berubah 180 derajat.
Keteganganku hilang lenyap dalam hitungan sepersekian detik. Yang benar saja!
Pertanyaan seperti apa ini?
“Tentu saja!” jawabku tanpa pikir panjang. Aku
menoleh dan sepasang mata hitamnya yang begitu memesona sedang melihat ke arahku.
Sebuah senyuman terbentuk di wajahnya.
Ah, senyuman itu. Aku refleks memalingkan wajahku
lagi. Dari dulu, aku memang tidak dapat memandangnya seperti ini, tepat pada
matanya. Setiap kali dia melihatku, aku pasti mengalihkan pandanganku ke tempat
lain.
Tunggu. Setiap kali? Rasanya ada yang salah
dengan kalimat terakhir yang muncul dalam benakku tadi. Sesering itukah dia
melihat ke arahku?
So
c-come on,
You got it wrong,
To prove I'm right,
I put it in a song,
I don't know why,
You're being shy,
And turn away when I look into your eye eye eyes.
You got it wrong,
To prove I'm right,
I put it in a song,
I don't know why,
You're being shy,
And turn away when I look into your eye eye eyes.
Dia mendecak lidah. “Kamu masih ingat kamu
pernah membawakan seseorang sebuah tas gitar waktu SMP dulu?”
Aku mengernyit. Sepertinya pernah, sepertinya
tidak. Mana mungkin aku ingat? Kejadian tahun lalu saja belum tentu masih
berbekas dalam otakku. Mengapa dia bertanya begitu?
Dia menghela napas. “Atau kamu masih ingat kamu
pernah meminjamkan seseorang payung?”
Kerutan di keningku semakin dalam. Aku memang
pernah meminjamkan payung pada orang lain, dan itu bukan hanya seseorang.
Banyak! Dari sekian banyak itu, hampir tidak ada yang mengembalikan payungku!
Sekali lagi dia menghela napas. Kali ini,
terdengar agak kesal. “Kamu Erlin atau bukan, sih?”
Aku tertegun. Bagaimana dia tahu namaku? Tahu
dari mana?
“Ah, ya atau bukan. Nggak perlu jawab. Angguk
saja kalau benar.” Suaranya terdengar pasrah.
Dengan susah payah, aku menganggukkan kepalaku
yang mulai menegang lagi. Sekujur tubuh ini juga mulai membeku. Payah aku.
“Erlin yang pernah memainkan piano saat
perpisahan SMP dan SMA dulu?” tanyanya lagi.
Ah, dia sudah memerhatikanku sejak SMP! Tunggu.
SMP? Memangnya dia kakak kelasku saat SMP juga?
“Ya atau bukan?” desaknya.
Aku mengangguk kaku. Dalam benakku muncul
terlalu banyak pertanyaan untuk diproses satu per satu.
“Kalau begitu, aku benar,” katanya. Suaranya
terdengar riang. “Untung aku menyuruh mereka untuk latihan lagi hari ini. Kamu
nggak pernah datang dari kemarin, sih,” lanjutnya.
Hah? Maksudnya? Jadi, dia menanti kehadiranku?
Karena itu dia datang lagi ke kampus hari ini? Benarkah kesimpulanku?
“Ini untukmu,” katanya sambil menyodorkan
selembar kertas.
Ini… Tiket?
“Datang Sabtu ini, ya,” katanya sebelum pergi meninggalkanku
sendiri. Mungkin dia sempat melambai. Mungkin dia berdiri sebentar untuk
menunggu reaksi dariku. Entahlah.
Aku tidak memberi jawaban. Seluruh perhatianku
tertuju pada tiket yang dia letakkan di sampingku. Lama sekali aku menatap
tiket itu. Apakah ini berarti cerita kita dapat dilabel ‘to be continued’?
If only
you saw what I can see,
You'll understand why I want you so desperately,
Right now I'm looking at you and I can't believe,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
Oh oh,
That's what makes you beautiful
=============
You'll understand why I want you so desperately,
Right now I'm looking at you and I can't believe,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
Oh oh,
That's what makes you beautiful
=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: What Makes You Beautiful By One Direction
Post #6 of #30HariLagukuBercerita
Post #6 of #30HariLagukuBercerita
No comments:
Post a Comment
Thank you for reading! Feel free to comment. :)