Aku duduk termenung di depan laptop. Telepon darimu membuat hari
Sabtu yang cerah ini kelam seketika. Aneh. Sejak kapan mendapat panggilan
darimu menjadi sesuatu yang membuatku sedih? Sepanjang ingatanku, mendengar
suaramu selalu merupakan hal yang menyenangkan. Jadi, mengapa perasaanku
seperti ini?
Sakit. Sangat sakit, saat aku sepenuhnya
sadar bahwa senyumanmu padaku sama saja dengan senyumanmu yang kaulontarkan
pada orang lain. Sangat menyesakkan, saat aku tahu bahwa usahaku selama ini
sia-sia. Aku tetap bukan orang yang istimewa.
Tidak. Untuk kali ini, aku tidak
akan memenuhi ajakanmu lagi. Aku tidak akan memusingkan diriku dengan apa yang
akan kaubicarakan atau apa yang pakaian apa yang harus kupakai.
Tanpa aba-aba, tanganku menghidupkan
laptop dan membuka folder yang terkunci, yang berisi
rahasiaku. Setiap huruf di dalamnya adalah cermin dari apa yang kurasakan
karena dirimu, dan tidak ada yang boleh membacanya. Mengapa? Karena aku tidak
ingin ada yang mengetahui isinya. Rahasiaku yang dengan susah payah kusembunyikan.
Darimu.
Judul tulisan yang terakhir “Langkah
ke-100”, memperingatiku bahwa aku harus berhenti perjalanan ini. Perjalanan
menutupi jarak di antara kita, dari langkah pertama hingga langkah ke-100. Aku
rela menapak setiap langkah itu sendirian, tanpa harus kau bergerak sedikitpun.
Mungkin mereka yang tahu akan menertawakanku. Tetapi, aku tidak akan
berkomentar apa-apa, sebab aku rela.
Tetapi, aku tidak bodoh. Jika hingga
langkah ke-100 juga ternyata jarak kita belum tertutup, jika hingga langkah
ke-100 juga aku masih belum dapat mencapaimu, aku akan berhenti. Dan 100
langkah yang telah kuambil itu akan merupakan kenangan indah, rahasia pahit
yang akan kupendam selamanya.
Sekarang, saat itu sudah sampai.
Ternyata 100 langkah benar-benar tidak cukup. Selesai sudah perjuangan yang
sia-sia ini.
Jemariku dengan lincah menari-nari
di atas keyboard. Melampiaskan
perasaanku dengan cara ini merupakan kebiasaan yang telah terbentuk sejak hari
pertama aku menyadari bahwa kehadiranmu bagiku bukan hanya teman semata. Dalam
hitungan detik, selesailah tulisan hari ini.
Entri 29 September 2012:
Judul: finKau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Kali ini, aku sudah memantapkan hatiku, mengeraskan perasaanku. Aku tidak akan terjerumus dalam senyumanmu padaku, yang tidak mempunyai makna istimewa itu.
Aku menghela napas lega. Selesai
sudah. Mulai sekarang, aku akan menjadi seseorang yang baru, bukan lagi gadis
bodoh yang selalu mengharapkan dirimu. Dan kuharap dengan begitu, kau akan
sadar, bahwa kehadiranku ternyata demikian penting.
Setelah memantapkan pikiranku, aku
mulai menjelajah beberapa dari daftar tulisan dalam folder. Entah apa yang mendorongku membuat hal yang tidak berarti
ini. Dan ternyata sudah demikian lama aku menulis di sini, lebih dari setahun.
Berarti, selama itu jugalah aku memendam perasaanku ini. Dan selama itu
jugalah, kau yang hanya menganggapku teman, tidak menyadarinya.
Langkah ke-1:Dan hari ini, kau lagi-lagi menjemputku saat akan ke kampus. Katamu, karena satu arah, jadi sekalian saja. Saat kau katakan mulai hari ini, kau bersedia menjadi supir pribadiku untuk seterusnya, kau tahu bagaimana perasaanku? Ya, langkah awal yang baik.Langkah ke-13:Kau menyetujui ajakanku untuk menghadiri reuni SMA. Kau bahkan sibuk bertanya-tanya apa yang harus kau kenakan. Dalam pandanganku, kau seperti seorang gadis yang gugup sebelum first date. Satu langkah lebih dekat lagi.Langkah ke-24:Hari ke-8 kita tidak berbicara. Padahal kita bertengkar hanya gara-gara hal kecil. Tetapi, tanpa sengaja, aku mendengarmu bercerita pada teman, bahwa kau merasa tidak terbiasa tanpa diriku yang meracau di sisimu. Meski kita sedang perang dingin, tetapi ini suatu proses yang bagus, kan?Langkah ke-51:Kau dengan bangga memamerkan hadiah dari dia, pacarmu itu yang baru pulang dari Australia untuk melewati liburan kuliahnya. Dia, yang juga teman baikku, orang yang memperkenalkan kita. Tetapi, kau juga mengucapkan terima kasih padaku yang berperan banyak dalam hidupmu, terutama di saat kau memerlukan dukungan. Hei, kau yang masih tidak tahu apa-apa, kalau saya yang duluan mengenalmu, apakah statusku masih sekadar teman?Langkah ke-72:Kau menanyakan pendapatku tentang gadis yang kau kenalkan padaku kemarin. Setelah beberapa bulan memutuskan hubungan LDR-mu, kau menemukan ‘dia’ yang baru. Apa yang harus kukatakan? Alhasil, aku hanya membisu. “Kau tidak menyukainya?” tanyamu. Kau tahu apa yang membuatku tercengang? Saat aku mengangguk, kata-kata yang kau ucapkan tanpa memikir lebih jauh. “Kalau begitu, dia out.” Bagimu, pendapatku penting, kan?Langkah ke-89:Setelah bermalam-malam kekurangan tidur karena mengejar laporan, aku jatuh sakit juga. Dan kau, membatalkan janji temu dengan adik kelas yang manis itu, hanya karena ingin menemaniku. Kau begitu mengkhawatirkanku.Langkah ke-100:Aku membawa kue buatanku sendiri, bertandang ke rumahmu, hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan dengan harapan dapat merayakan hari istimewa ini berdua. Kau dengan senang menyambutku, mengacak-acak rambutku, dan mulai mengatakan betapa beruntungnya dirimu mempunyai seorang teman yang pandai membuat kue. Ternyata, aku masih teman. Ternyata, langkahku yang ke-100, belum cukup untuk menutupi jarak di antara kita. Sebenarnya, masih berapa langkah lagi yang dibutuhkan?
Aku menghembuskan napas pelan.
Pasrah. Kepalaku pusing. Kau mendekat lalu menjauh, tetapi kau tidak pernah
menolak kebaikanku, kau bahkan
membalasnya dengan hal yang membuat hatiku berdebar lebih kencang. Apa yang harus
kulakukan? Apakah aku dapat melepas begitu saja?
Bagaimana kalau ternyata jika aku
terus menunggu dan terus melangkah, kau akan menyadari kelalaianmu selama ini?
Dari langkah pertama hingga langkah ke-100, itulah kemajuan dari hubungan kita.
Kemajuan yang hanya ada karena diriku yang tidak putus asa.
What if, it seems like you’re going
to love me
Because it seems like you’re going
to come to me if I just wait a little
With these anticipations, I can’t
leave you
Ponselku berdering di saat yang
tepat. Aku memerlukan sesuatu untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi, begitu aku
melihat namamu yang tertera di layar, napasku tercekat untuk sesaat. Apakah ini
sebuah pertanda?
“Sudah
siap? Aku berangkat sekarang.”
Pesan singkat itu membuatku
tertegun. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya, SMS seperti ini sudah pernah
kaukirim untuk banyak gadis yang lainnya bukan? Tidak hanya aku, meskipun aku
dikenal sebagai gadis yang paling dekat denganmu. Namun, juga dikenal sebagai
gadis yang berlabel teman bagimu.
Even though I wanted to believe that
that smile was just for me
It probably isn’t, right?
But still, just maybe
Hei, kalau sebenarnya jarak di
antara kita ada 1000 langkah. Apakah mungkin bagiku untuk menapak kesemua
langkah itu? Apakah aku dapat berharap kau akan mulai melangkah ke arahku juga?
Dua buah suara dalam diriku berdebat.
Otakku melontarkan berbagai logika, hatiku menolak dengan alasan yang mungkin
saja hanya berupa harapan palsu. Tetapi, aku ingin berpegangan pada harapan itu.
Sebab itulah yang memotivasiku selama ini. Dan aku yakin, harapan itu juga akan
terus mendorongku untuk seterusnya, berapapun panjangnya jarak yang harus
kulalui.
These thoughts are useless
For I’m already living in the deeply
set times of you
Aku membuka kembali draf terbaru itu
dan mulai mengetik. Salah. Mengedit.
Entri 29 September 2012:
Judul: Langkah ke-101Kau mengajakku keluar. Lagi. Untuk kesekian kalinya yang sudah tidak dapat kuhitung. Dan kali ini sudah kuputuskan, berapapun langkah yang harus kutapak, aku akan terus maju. Sebab, siapa tahu, kalau aku terus menunggu, kau akan datang padaku. Ya, benar. Aku memang bodoh.
Even though pain is heavy
Still, I feel like you’ll love me
=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: What If By Super Junior
Post #10 of #30HariLagukuBercerita
Post #10 of #30HariLagukuBercerita
No comments:
Post a Comment
Thank you for reading! Feel free to comment. :)