Ruangan yang
cukup luas itu terkesan sempit pada sore ini. Seluruh keluarga besar berkumpul,
mengelilingi sebuah tempat tidur yang warnanya sama seperti warna utama dari
ruangan ini, putih. Akan tetapi yang menyesakkan bukanlah belasan orang yang
sedang berdiri dalam satu ruangan, melainkan keheningan yang menyelimuti
ruangan ini. Suara rintik hujan lebat di luar sana tidak mampu menyaingi
kesunyian di dalam.
Dia
mengulurkan tangannya; dia yang terbaring lemah di tempat tidur, mengangkat
tangan kanannya dengan perlahan, berusaha menggapai sesuatu. Aku segera duduk
di sisinya dan meraih tangan yang sudah keriput itu. Matanya masih terpejam.
“Kau masih
ingat?” tanyanya dengan suaranya yang lemah. “Bagaimana pertemuan pertama kami?”
Aku dapat
merasakan pandangan dari mereka yang mengelilingi kami. Pandangan penuh tanda
tanya yang menanti jawaban apa yang akan kuberikan.
“Aku hanya
pelajar miskin biasa, sedangkan kau anak gadis dari seorang pedangang kaya,”
lanjutnya, masih dengan suaranya yang lemah. “Kau menentang orang tuamu untuk pertama kali karena aku.”
Dia
menghembuskan napas dengan perlahan, tanpa merenggangkan genggamannya.
Sebenarnya, akan lebih tepat jika dikatakan aku yang menggenggam tangan yang
sudah lemah itu. Genggamannya tidak sekuat dulu lagi. Kuselimuti tangan yang
hangat itu dengan kedua tanganku.
“Kau bahkan
mengusulkan agar kami lari dari kota ini. Benar-benar ide yang bodoh!” Dia terbatuk-batuk
setelah mengucapkan kata terakhir dari kalimat tadi dengan nada yang terlalu
tegas baginya. “Ah, benar-benar masa muda yang menyenangkan.”
Sebuah
senyuman terbentuk di wajahnya. Matanya terbuka, tatapannya tertuju pada
langit-langit ruangan.
“Kau ingat
apa yang kau katakan saat menemuiku waktu itu? Kau bahkan tidak meminta maaf
setelah membuatku menunggu berjam-jam, ataupun berterima kasih. Aku tahu kau akan menungguku, hanya itu
yang keluar dari mulutmu.”
Sekali lagi
dia menghembuskan napas. “Sekarang, aku juga tidak akan meminta maaf karena
membuatmu menunggu bertahun-tahun, ataupun berterima kasih. Sebab aku tahu, kau
akan menungguku. Tugasku sudah selesai. Aku akan pergi menemuimu sekarang.”
Pandangannya
beralih dari langit-langit ke arahku, kemudian berpindah lagi pada secarik
kertas di atas rak di samping tempat tidur. Begitu aku mengangkat tangan
kananku untuk meraih kertas itu, tangan yang kuapit di antara kedua telapakku
terjatuh begitu saja ke atas tempat tidur. Aku menoleh ke arah pemilik tangan
itu.
Matanya
terpejam. Bibirnya membentuk seulas senyum. Senyuman yang begitu bahagia. Untuk
sesaat aku bahkan tidak dapat mendengar apa-apa selain kata-kata terakhirnya
tadi yang terus terngiang dalam benakku.
Aku bahkan
memerlukan kedua tanganku untuk mengambil kertas yang terlipat dua yang
dimaksudnya tadi. Kertas yang sudah menguning, yang selalu dibawanya
kemana-mana. Barangnya yang paling berharga.
Aku
tersenyum saat menyadari tulisan di atas kertas itu hanya sepenggal lirik lagu
kesukaan Nenek, yang katanya sesuai dengan jalan hidupnya. Aku hanya tertawa
setiap kali Nenek dengan bangga menceritakan kisah cintanya dulu, sebelum dia meninggal. Menurutku tidak mungkin ada lagu dapat menggambari kisah
seseorang dengan tepat. Aku tidak pernah mempercayainya, hingga saat ini.
Aku menatap
wajah Kakek sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan. Wajah yang begitu
bahagia, seperti seorang pemuda yang akan segera bertemu dengan kekasihnya.
If you get there before I do, don’t give up on me.I’ll meet you when my chores are through, I don’t know how long I’ll be.But I’m not gonna let you down.Darling, wait and see.And between now and then, till I see you again, I’ll be loving you.Love, Me.
=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: Love Me by Collin Raye
Post #1 of #30HariLagukuBercerita
Post #1 of #30HariLagukuBercerita
No comments:
Post a Comment
Thank you for reading! Feel free to comment. :)