Monday 17 September 2012

To Be Continued?


Aku bergegas menuju ruang auditorium di gedung E yang jaraknya puluhan meter dari kantin tempatku berada. Sebagai mahasiswi biasa, alias yang tidak pernah aktif dalam acara apapun di kampus, tentu saja aku tidak pernah mengecek apakah kampus akan mengadakan acara. Alhasil, kehadiran mereka di kampuspun tidak kuketahui.
Mereka, adalah alumni yang lulus tahun lalu. Bedanya, mereka juga adalah band pertama dari kampus yang berhasil membawa pulang piala-piala dalam berbagai lomba selama mereka menjadi mahasiswa di sini. Spesialnya, salah satu anggota mereka, leader dari band itu lebih tepatnya, adalah kakak kelasku sejak SMA dulu. Orang yang telah lama kuperhatikan dari jauh, sebab hanya itu yang dapat kulakukan.

Aku bukan orang yang menonjol di kampus. Yang kulakukan hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Bersosialisasi juga tidak termasuk dalam daftar rutinitasku. Jadi, dapat dikatakan aku hanya salah satu dari sekian banyak mahasiswa di kampus. Demikian tingkat keberadaanku di kampus.

Semua ini membuat pikiran “hanya bisa melihatnya dari jauh” berakar dalam benakku. Dia tidak akan, dan tidak perlu tahu bahwa aku merupakan salah satu dari mereka yang berdiri di bawah panggung, melihatnya dengan jantung berdebar-debar. Bagiku, mendukungnya seperti ini saja sudah cukup. Dan dia juga tidak perlu tahu, bahwa aku mendaftarkan diri dan berusaha keras untuk bisa masuk ke universitas ini juga karena dia. Meskipun akhirnya, sampai saat dia diwisuda juga aku belum pernah mengucapkan sepatah katapun padanya. Dengan demikian, cerita di antara aku dan dia sudah dicap ‘the end’ sebelum bab pertama sempat ditulis.

Perlahan, aku mendorong pintu auditorium yang tertutup rapat. Pandanganku langsung tertuju ke arah panggung. Ah, dia ada di sana, duduk di tepi sambil bercanda dengan mereka yang mengerumuninya di depan panggung.

Aku telat. Salahku sendiri tidak meninggikan antenaku hingga terlambat menerima informasi bahwa mereka akan tampil di acara yang diadakan kampus Sabtu ini. Dan ternyata mereka sudah melakukan gladi sejak beberapa hari yang lalu. Jadi, dapat dikatakan bahwa aku cukup beruntung mereka melakukan gladi sekali lagi hari ini. Sudahlah, paling tidak, melihatnya seperti ini bisa dimasukkan ke dalam prolog cerita kami, bukan?

Dia terus mengobrol dengan senyuman di wajahnya. Senyuman yang dilihat dari jarak demikian jauh saja bisa membuat jantungku berdebar tidak karuan. Sekali-kali dia tertawa lepas. Suara tawanya menggelitik sarafku, membuatku ikut tersenyum-senyum. Ah, dapat kurasakan mukaku memanas. Akhirnya, aku bisa berjumpa lagi dengannya. Dalam hati, aku merasa bersyukur memilih untuk melanjutkan studiku di kampus ini, yang berarti menolak beasiswa untuk kuliah di kampus lain. Paling tidak, aku dapat melihatnya seperti ini.

“Rian!” panggil salah satu anggota band yang sejak tadi berdiri di atas panggung.

Mendengar namanya dipanggil saja dapat membangunkan seluruh inderaku. Ya, aku sangat sensitif pada namanya. Setiap kali seseorang menyebut nama yang mirip sekalipun, baik “Lian”, “Tian, ataupun “Dian”, aku pasti refleks menoleh ke arah sumber suara. Tetapi tidak kali ini. Mataku tetap terpaku pada sosok yang menoleh ke belakang untuk melihat temannya. Aku seakan terhipnotis olehnya.

Wajahnya jika dilihat dari sebelah kiri ternyata begitu menarik perhatian. Aku mulai terjerumus lagi dalam lubang imajinasiku sebelum orang yang kutatap berpaling dan melihat ke arahku.

Tunggu dulu! Dia melihat ke arahku? Dia melihat ke arahku!

Spontan, aku menunduk kepala dan menatap lantai cokelat yang tiba-tiba menjadi begitu menarik. Tidak, aku tidak akan menaikkan kepalaku hingga aku seratus persen yakin dia tidak melihat ke sini lagi. Meskipun dapat kupastikan bahwa yang dilihatnya bukan diriku, bisa saja orang di sampingku, atau pintu di belakang sana, atau kursi kosong, atau apa saja. Pokoknya bukan aku. Semoga saja bukan aku yang memberikan reaksi memalukan ini.

Benar-benar tiada obat bagi diriku ini. Mengapa aku tidak melambaikan tanganku? Atau meneriakkan namanya? Atau paling tidak tersenyum saja padanya? Mengapa aku menundukkan kepalaku secepat itu? Refleksiku tidak pernah secepat ini kalau terjadi hal-hal yang lain. Bodoh.

Sesaat kemudian, terdengar bunyi ketukan drum dan suara gitar dari speaker. Lalu, tentu saja, sebagai lead vocal, suaranya mulai memenuhi ruangan ini.
You're insecure,
Don't know what for,
You're turning heads when you walk through the door,
Don't need make-up,
To cover up,
Being the way that you are is enough,

Akhirnya aku mengangkat kepalaku dan membiarkan indera penglihatan dan pendengaranku menikmati momen ini. Ternyata lagu ini yang dibawakan mereka saat tampil nanti, di acara yang tidak dapat kuhadiri itu. Aku baru mendapat informasi tentang acara itu tadi pagi, dan tentu saja, tiket masuk sudah terjual habis. Yang dapat kulakukan hanya mengutuki diriku sendiri, sebelum mengetahui mereka akan latihan lagi hari ini.
Everyone else in the room can see it,
Everyone else but you,

Aku berlari maju untuk bergabung dengan rombongan yang memenuhi bagian depan panggung. Tanganku ikut berayun di udara, senyumanku mengembang dengan sendirinya, meskipun debaran di jantungku hanya mereda sedikit. Dia tampil dengan begitu menawan, seperti biasa. Dia begitu menikmati dirinya di atas panggung. Bisa melihat dirinya seperti ini saja sudah cukup. Tetapi, bagaimana rasanya kalau bisa lebih dekat lagi?
Baby you light up my world like nobody else,
The way that you flip your hair gets me overwhelmed,
But when you smile at the ground it ain't hard to tell,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,

Aku masih berkeluyuran di dalam auditorium setelah gladi selesai dan semua orang meninggalkan ruangan. Perlahan, aku menaiki tangga di samping. Langkahku mengantarku ke atas panggung, dan tanpa kusadari, aku duduk tepat di tempat yang dia duduk tadi, saat aku memasuki ruangan.

Ah, ternyata ini rasanya duduk di sini. Aku melihat ke sekeliling ruangan dan berusaha membayangkan keadaan tadi, saat orang-orang berdiri di sekitar panggung. Aku seakan dapat melihat apa yang dilihatnya, merasakan apa yang dapat dirasakannya. Aku memejamkan mata, menikmati detik-detik ini, sebab aku tidak tahu kapan bisa bertemu dengannya lagi.

“Kamu sedang apa?”

Sebuah suara yang muncul tiba-tiba membuat mataku terbelalak lebar. Suara ini. Aku tahu suara ini. Tetapi, apakah iya? Bukankah dia sudah pulang?

“Apa yang sedang kamu lakukan di sana?” tanya suara itu lagi.

Jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Sekarang aku yakin siapa pemilik suara ini! Dia!

Suara dia begitu dekat. Dia di belakangku? Ya ampun. Apa yang harus kulakukan? Debaran jantungku sudah tidak lagi dapat kukendalikan. Mukaku mulai memanas. Dan dalam sekejap saja, seluruh tubuhku juga terasa panas.

“Mengapa belum pulang?” tanyanya sambil duduk di sampingku.

Napasku tercekat. Aku bahkan tidak dapat mengerjapkan mataku. Aku ingin sekali menoleh dan tersenyum padanya, tetapi tidak bisa. Seluruh tubuhku menegang!

“Kamu…”

Dia mulai bersuara lagi. Dan kali ini aku dapat merasakan tatapannya. Ah, bagaimana ini?

“Kamu bisa bicara, kan?”

Seketika, suasana berubah 180 derajat. Keteganganku hilang lenyap dalam hitungan sepersekian detik. Yang benar saja! Pertanyaan seperti apa ini?

“Tentu saja!” jawabku tanpa pikir panjang. Aku menoleh dan sepasang mata hitamnya yang begitu memesona sedang melihat ke arahku. Sebuah senyuman terbentuk di wajahnya.

Ah, senyuman itu. Aku refleks memalingkan wajahku lagi. Dari dulu, aku memang tidak dapat memandangnya seperti ini, tepat pada matanya. Setiap kali dia melihatku, aku pasti mengalihkan pandanganku ke tempat lain.

Tunggu. Setiap kali? Rasanya ada yang salah dengan kalimat terakhir yang muncul dalam benakku tadi. Sesering itukah dia melihat ke arahku?
So c-come on,
You got it wrong,
To prove I'm right,
I put it in a song,
I don't know why,
You're being shy,
And turn away when I look into your eye eye eyes
.

Dia mendecak lidah. “Kamu masih ingat kamu pernah membawakan seseorang sebuah tas gitar waktu SMP dulu?”

Aku mengernyit. Sepertinya pernah, sepertinya tidak. Mana mungkin aku ingat? Kejadian tahun lalu saja belum tentu masih berbekas dalam otakku. Mengapa dia bertanya begitu?

Dia menghela napas. “Atau kamu masih ingat kamu pernah meminjamkan seseorang payung?”

Kerutan di keningku semakin dalam. Aku memang pernah meminjamkan payung pada orang lain, dan itu bukan hanya seseorang. Banyak! Dari sekian banyak itu, hampir tidak ada yang mengembalikan payungku!

Sekali lagi dia menghela napas. Kali ini, terdengar agak kesal. “Kamu Erlin atau bukan, sih?”

Aku tertegun. Bagaimana dia tahu namaku? Tahu dari mana?

“Ah, ya atau bukan. Nggak perlu jawab. Angguk saja kalau benar.” Suaranya terdengar pasrah.

Dengan susah payah, aku menganggukkan kepalaku yang mulai menegang lagi. Sekujur tubuh ini juga mulai membeku. Payah aku.

“Erlin yang pernah memainkan piano saat perpisahan SMP dan SMA dulu?” tanyanya lagi.

Ah, dia sudah memerhatikanku sejak SMP! Tunggu. SMP? Memangnya dia kakak kelasku saat SMP juga?

“Ya atau bukan?” desaknya.

Aku mengangguk kaku. Dalam benakku muncul terlalu banyak pertanyaan untuk diproses satu per satu.

“Kalau begitu, aku benar,” katanya. Suaranya terdengar riang. “Untung aku menyuruh mereka untuk latihan lagi hari ini. Kamu nggak pernah datang dari kemarin, sih,” lanjutnya.

Hah? Maksudnya? Jadi, dia menanti kehadiranku? Karena itu dia datang lagi ke kampus hari ini? Benarkah kesimpulanku?

“Ini untukmu,” katanya sambil menyodorkan selembar kertas.

Ini… Tiket?

“Datang Sabtu ini, ya,” katanya sebelum pergi meninggalkanku sendiri. Mungkin dia sempat melambai. Mungkin dia berdiri sebentar untuk menunggu reaksi dariku. Entahlah.

Aku tidak memberi jawaban. Seluruh perhatianku tertuju pada tiket yang dia letakkan di sampingku. Lama sekali aku menatap tiket itu. Apakah ini berarti cerita kita dapat dilabel ‘to be continued’?

If only you saw what I can see,
You'll understand why I want you so desperately,
Right now I'm looking at you and I can't believe,
You don't know,
Oh oh,
You don't know you're beautiful,
Oh oh,
That's what makes you beautiful


=============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: What Makes You Beautiful By One Direction
Post #6 of #30HariLagukuBercerita

No comments:

Post a Comment

Thank you for reading! Feel free to comment. :)