Sunday 2 September 2012

Aku Tahu Kau Akan Menunggu


Ruangan yang cukup luas itu terkesan sempit pada sore ini. Seluruh keluarga besar berkumpul, mengelilingi sebuah tempat tidur yang warnanya sama seperti warna utama dari ruangan ini, putih. Akan tetapi yang menyesakkan bukanlah belasan orang yang sedang berdiri dalam satu ruangan, melainkan keheningan yang menyelimuti ruangan ini. Suara rintik hujan lebat di luar sana tidak mampu menyaingi kesunyian di dalam.

Dia mengulurkan tangannya; dia yang terbaring lemah di tempat tidur, mengangkat tangan kanannya dengan perlahan, berusaha menggapai sesuatu. Aku segera duduk di sisinya dan meraih tangan yang sudah keriput itu. Matanya masih terpejam.

“Kau masih ingat?” tanyanya dengan suaranya yang lemah. “Bagaimana pertemuan pertama kami?”

Aku dapat merasakan pandangan dari mereka yang mengelilingi kami. Pandangan penuh tanda tanya yang menanti jawaban apa yang akan kuberikan.

“Aku hanya pelajar miskin biasa, sedangkan kau anak gadis dari seorang pedangang kaya,” lanjutnya, masih dengan suaranya yang lemah. “Kau menentang orang tuamu untuk pertama kali karena aku.”

Dia menghembuskan napas dengan perlahan, tanpa merenggangkan genggamannya. Sebenarnya, akan lebih tepat jika dikatakan aku yang menggenggam tangan yang sudah lemah itu. Genggamannya tidak sekuat dulu lagi. Kuselimuti tangan yang hangat itu dengan kedua tanganku.

“Kau bahkan mengusulkan agar kami lari dari kota ini. Benar-benar ide yang bodoh!” Dia terbatuk-batuk setelah mengucapkan kata terakhir dari kalimat tadi dengan nada yang terlalu tegas baginya. “Ah, benar-benar masa muda yang menyenangkan.”

Sebuah senyuman terbentuk di wajahnya. Matanya terbuka, tatapannya tertuju pada langit-langit ruangan.

“Kau ingat apa yang kau katakan saat menemuiku waktu itu? Kau bahkan tidak meminta maaf setelah membuatku menunggu berjam-jam, ataupun berterima kasih. Aku tahu kau akan menungguku, hanya itu yang keluar dari mulutmu.”

Sekali lagi dia menghembuskan napas. “Sekarang, aku juga tidak akan meminta maaf karena membuatmu menunggu bertahun-tahun, ataupun berterima kasih. Sebab aku tahu, kau akan menungguku. Tugasku sudah selesai. Aku akan pergi menemuimu sekarang.”

Pandangannya beralih dari langit-langit ke arahku, kemudian berpindah lagi pada secarik kertas di atas rak di samping tempat tidur. Begitu aku mengangkat tangan kananku untuk meraih kertas itu, tangan yang kuapit di antara kedua telapakku terjatuh begitu saja ke atas tempat tidur. Aku menoleh ke arah pemilik tangan itu.

Matanya terpejam. Bibirnya membentuk seulas senyum. Senyuman yang begitu bahagia. Untuk sesaat aku bahkan tidak dapat mendengar apa-apa selain kata-kata terakhirnya tadi yang terus terngiang dalam benakku.

Aku bahkan memerlukan kedua tanganku untuk mengambil kertas yang terlipat dua yang dimaksudnya tadi. Kertas yang sudah menguning, yang selalu dibawanya kemana-mana. Barangnya yang paling berharga.

Aku tersenyum saat menyadari tulisan di atas kertas itu hanya sepenggal lirik lagu kesukaan Nenek, yang katanya sesuai dengan jalan hidupnya. Aku hanya tertawa setiap kali Nenek dengan bangga menceritakan kisah cintanya dulu, sebelum dia meninggal. Menurutku tidak mungkin ada lagu dapat menggambari kisah seseorang dengan tepat. Aku tidak pernah mempercayainya, hingga saat ini.

Aku menatap wajah Kakek sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan. Wajah yang begitu bahagia, seperti seorang pemuda yang akan segera bertemu dengan kekasihnya.
 
If you get there before I do, don’t give up on me.
I’ll meet you when my chores are through, I don’t know how long I’ll be.
But I’m not gonna let you down.
Darling, wait and see.
And between now and then, till I see you again, I’ll be loving you.
Love, Me.

 =============
Songfic by : Lidya Yang (@Lidya_yang)
Inspired by: Love Me by Collin Raye
Post #1 of #30HariLagukuBercerita

No comments:

Post a Comment

Thank you for reading! Feel free to comment. :)